Jakarta, VIVA – Sidang perkara dugaan perundungan dan pemerasan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menemukan fakta mencengangkan. Ditemukannya bekas kapas alkohol yang digunakan almarhum dr Aulia Risma.
Bukti itu menunjukkan dr Aulia memiliki kewaspadaan mencegah risiko infeksi, sehingga mematahkan adanya dugaan bunuh diri akibat perundungan. Di sisi lain, penasehat hukum tiga terdakwa menduga adanya tokoh Ingin memecah belah dokter anestesi di RS Karyadi Semarang dalam kasus tersebut.
Kuasa hukum tiga terdakwa M. Sholeh menceritakan jalannya persidangan yang digelar Rabu, 11 Juni 2025. Dalam sidang tersebut empat orang saksi dihadirkan, yakni Akwal Sadida yang merupakan teman dekat almarhum dr Aulia Risma, dr. Novi Aktari Utami, dr. Zsa Zsa Maranani, dan dr. Andriani.
"Banyak yang menarik disampaikan para saksi," paparnya.
Dokter Aulia Risma, mahasiswi PPDS anestesi Universitas Diponegoro (Undip).
Photo :
- Istimewa/VIVA Surya Aditiya
Menurutnya, salah satu yang menarik adalah tidak terjawab dua pertanyaan penting yang terhubung dengan peristiwa tewasnya dr. Aulia. Pertanyaan ini diajukan ke saksi Akwal. Yakni, Apakah saksi pernah mengetahui bahwa di TKP almarhum ditemukan sisa ampul obat suntik rocoranium bekas digunakan almarhum dan apa saksi juga mengetahui bahwa dalam temuan di tempat kejadian ada sisa kapas alkohol yang digunakan almarhum.
"Bukti adanya sisa kapas alkohol inilah yang memberi petunjuk kuat bagi penyidik Polrestabes Semarang bahwa sebagai dokter dr. Aulia menyuntik dengan kewaspadaan tinggi untuk meminimalisir risiko infeksi. Sayangnya kedua pertanyaan ini dijawab tidak tahu oleh saksi, sehingga tidak dapat membantu membuka tabir gelap kasus ini," ujarnya dalam keterangan tertulisnya.
Saksi lain adalah dr. Andriani Widya Ayu Kartika. Dia adalah dokter alumni UNDIP tahun 2012 yang juga menyelesaikan pendidikan spesialis anestesinya di Undip pada 2022. Saksi sejak Mei 2024 adalah bendahara Kelompok Staf Medik (KSM) Anestesi RS Karyadi.
Berdasarkan keterangan dr. Andriani diketahui salah satu tugas Bendahara adalah mengumpulkan 4 persen dari remunerasi bulanan semua dokter anestesi RS Karyadi yang jumlahnya berkisar Rp 50 juta hingga Rp 60 juta setiap bulannya.
"Dana ini sebagai kas dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) KSM Anestesi," paparnya.
Sholeh menegaskan, dari dr. Andriani diketahui dana ini digunakan untuk berbagai keperluan kebutuhan DPJP maupun kebutuhan KSM. Selama ini tidak ada masalah karena semua atas dasar kesepakatan dan keikhlasan bekerja.
"Saksi juga menerangkan bahwa karena dana ini adalah dana yang dikumpulkan dari kerelaan hati semua dokter anestesi dan digunakan untuk kebaikan yang hakekatnya tidak ada masalah yang perlu dipersoalkan," ujarnya.
Sholeh juga menjelaskan dr. Andriani juga memberikan kesaksian penting soal Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang dipersoalkan oleh penyidik kepolisian.
"Dalam kesaksian itu, BOP ditarik dari mahasiswa peserta PPDS. Ini adalah biaya dari dan untuk digunakan peserta PPDS. BOP itu sudah lama ada. Bahkan, sebelum dr. Andriani masuk juga sudah ada, karena sifatnya dari residen untuk residen. Tidak ada dari dana BOP untuk pembayaran bagi senior atau untuk keperluan lain," paparnya.
Yang juga penting, menurut Sholeh adalah saksi dr. Andriani menyebut BOP itu untuk saling meringankan beban residen angkatan bawah, bukan untuk kepentingan seniornya.
"Saksi mengaku saat menjadi PPDS tahun 2018 sebagai tahun pertama, saksi mengumpulkan BOP sebesar Rp 60 juta dan itu dipakai semuanya habis untuk membayar biaya ujian, biaya presentasi poster dan presentasi oral di berbagai pertemuan ilmiah di luar kota," jelasnya.
Apalagi, kedua jenis pengumpulan dana baik dana BOP maupun dana DPJP, sama sekali tidak ada dasar surat dari Rektor maupun Direktur Rumah Sakit. "Sesuai keterangan dr. Anriyani ini semuanya didasarkan pada hanya didasarkan pada kesepakatan dan sesuai kebutuhan antar pelaku dilapangan," ujar Sholeh.
Dengan itu M. Sholeh sebagai kuasa hukum percaya bahwa majelis hakim akan obyektif melihat fakta persidangan. "Walau saya mencurigai adanya sebuah rekayasa kasus yang didalangi tokoh di Kemenkes untuk memecah belah dokter anestesi yang berasal dari sumber Kemenkes dan sumber Kemendikti yang bekerja di RS Karyadi Semarang," tegasnya.
Apalagi, lanjutnya, semua saksi di persidangan mengaku tidak ada bulying, pemerasan apalagi penipuan yang dilakukan bagian anestesi. "Dalam hal ini terdakwa dr, Taufik. Bahkan beberapa saksi memuji dr Taufik sebagai orang yang baik dan peduli pada PPDS," jelasnya.
Terungkap juga bagaimana terdakwa Taufik merupakan ketua program studi yang bertanggung jawab. "Menurut saksi bahwa selama Pak Taufik sebagai Ketua Program Studi, selalu mengembalikan dana sisa, membuat flyer anti bullying, dan selalu memperingatkan PPDS untuk berahlak mulia. Bahkan dr Taufik pada Agustus 2023 menghentikan tradisi BOP, jauh sebelum ada kasus almarhum dr Risma," ujarnya.
Dalam persidangan ini juga terungkap bahwa banyak interaksi positif antara residen senior dengan juniornya khususnya menyangkut pengertian tinggi atas tugas berat masing-masing pihak. Hal ini yang sukar dimengerti oleh masyarakat lain di luar dunia pendidikan spesialis anestesi dan bedah.
"Jadi saya yakin kesimpulan penyidik untuk mendakwa hal ini sebagai pemerasan, apalagi penipuan adalah sesuatu yang berlebihan dan sangat disesalkan sebagai sebuah upaya penegakkan hukum yang adil dan bermartabat. Seharusnya penyidik bisa lebih obyektif dan tidak mudah terpengaruh intervensi dari Kemenkes," tuturnya.
Halaman Selanjutnya
"Dana ini sebagai kas dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) KSM Anestesi," paparnya.