Defisit APBN Terancam Tembus 3 Persen pada Tahun 2025 Buntut Penerimaan Pajak Turun hingga 41,8 Persen

5 hours ago 1

Minggu, 16 Maret 2025 - 10:28 WIB

Jakarta, VIVA – Keterlambatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis APBN Kita pada awal tahun sontak menimbulkan polemik. Setelah satu bulan menunda, pemerintah merilis APBN Kita edisi Februari 2025 yang dipenuhi catatan merah.

Laporan APBN Kita menggambarkan kinerja anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) sekaligus pembiayaan yang disampaikan ke publik secara rutin tiap bulannya. Salah satu data yang menjadi sorotan mengenai kinerja penerimaan pajak.

Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda menuturkan, penerimaan pajak turun hingga 41,8 persen secara year on year (yoy) di tengah implementasi Coretax, sistem digitalisasi perpajakan terbaru. Sulitnya akses Coretax menyebabkan pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak di bulan Januari 2025 sebesar Rp64 triliun. 

Huda menjelaskan, ada dua faktor yang menyebabkan penerimaan pajak turun drastis. Pertama, pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar pajak pertambahan nilai (PPN) tahun 2024. Kedua, adanya kendala di sistem Coretax yang membuat wajib pajak kesulitan melaporkan sehingga pemasukan pajak menjadi terhambat.

Ilustrasi Pajak.(istimewa/VIVA)

Photo :

  • VIVA.co.id/B.S. Putra (Medan)

"Rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) tahun 2025 bisa  lebih rendah dibandingkan tahun 2024. Implikasinya defisit APBN rentan di atas 3 persen dan bisa berpotensi impeachment," ujar Huda dikutip dari keterangan resmi pada Sabtu, 15 Maret 2025. 
 
Selain itu, anjloknya APBN dipicu melambatnya belanja pemerintah pusat sebesar 10,76 persen. Sementara secara spesifik belanja K/L turun tajam 45,5 persen secara tahunan.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Askar menyampaikan, belanja pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi. Sehingga lemahnya belanja pemerintah hampir separuh dari tahun sebelumnya bisa mengurangi perputaran uang di masyarakat, memperlambat konsumsi dan memangkas pertumbuhan ekonomi. 

"Anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah yang juga menyebabkan gelombang PHK dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukungnya," kata Media.

Media menyinggung, kondisi di Indonesia bertolak belakang dengan yang terjadi di Argentina dan Vietnam. Presiden Argentina, Javier Milei, melakukan pemangkasan anggaran secara signifikan tetapi penerimaan pajaknya sukses melesat hingga 11 persen pada bulan Februari 2025 dan mengalami surplus fiskal. 

Ilustrasi pembayaran pajak.

Photo :

  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Begitu juga Vietnam yang melakukan efisiensi anggaran guna memangkas birokrasi sehingga menarik bagi investasi. Sementara di Indonesia berujung pada dua masalah besar, yakni anggaran dipangkas dan membebani masyarakat bawah dan penerimaan negara anjlok drastis.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa krisis penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tidak terkendali. Ia memprediksi jika utang pada bulan Januari naik 43,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu maka akhir 2025 diperkirakan utang pemerintah tembus Rp10.000 triliun. 

"Beban bunga utangnya pasti naik tajam tahun depan, membuat overhang utang, memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan. Rating surat utang pemerintah juga diperkirakan mengalami evaluasi," ujar Bhima. 

Menurut Huda, kesalahan terbesar pengelolaan anggaran pemerintah dimulai dari program ambisius pemerintah yang tidak disertai dengan naiknya sumber perpajakan. Pada akhirnya membuat pemerintah melakukan efisiensi secara masif. 

"Belanja dipotong hingga Rp306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius pemerintah. Program tersebut membutuhkan dana dengan jumlah jumbo namun penerimaan negara sedang cekak,” ujar Huda.

Rapor merah APBN Kita menjadi dasar Bhima mendesak Menteri Keuangan, Wakil Menteri hingga Dirjen Pajak untuk mundur dari jabatan. Bhima menilai, mereka tidak mampu melakukan terobosan pajak yang inovatif untuk mendongkrak ekonomi Indonesia ditambah kacaunya penerapan Coretax. 

“Kami mendesak Sri Mulyani, Wakil Menteri, dan Dirjen Pajak untuk mundur karena gagal menjalankan mandat disiplin fiskal tanpa rencana jelas, dan tidak berani melakukan terobosan pajak, justru merusak sistem perpajakan yang ada melalui buruknya implementasi Coretax," ujar Bhima.

Halaman Selanjutnya

"Anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah yang juga menyebabkan gelombang PHK dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukungnya," kata Media.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |