Jakarta, VIVA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemilu nasional dan daerah dipisah dapat dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya disuarakan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia.
Politikus Partai Golkar itu mengaku setuju dengan putusan MK. Bagi dia, lebih ideal lagi jika Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) turut dipisah.
"Saya dalam posisi secara pribadi mendukung putusan MK itu, bahkan sebenarnya, kalau bicara tentang keserentakan, lebih ideal lagi juga kalau pilpres dan pilegnya dipisah. Kalau saya, seperti 2004," kata Ahmad Doli dalam diskusi Politics & Colleagues Breakfast di Sekretariat PCB, Jakarta Selatan, dikutip pada Minggu, 29 Juni 2025.
Doli bilang, pemilu serentak dapat memperkuat praktik pragmatisme. Selain itu, ia menilai skema pelaksanaan pemilu serentak bisa membuat isu-isu daerah menjadi tenggelam.
"Jadi, kampanye yang dilakukan kepala daerah ya berkaitan dengan apa yang harus dilakukan dalam 5 tahun ke depan, menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat," jelas Doli.
"Bahayanya, dampaknya adalah itu adalah bagian yang memperkuat praktik pragmatisme pemilu," lanjut Doli.
Pun, ia menambahkan mekanisme pemilu keserentakan bisa memperdalam praktik pragmatisme politik.
"Jadi, secara tidak langsung, model keserentakan yang seperti ini, kalau ditelusuri, itu bisa memperdalam praktik pragmatisme di tengah masyarakat dalam secara politik," tuturnya.
Lebih lanjut, dia menyebut dengan putusan MK, pembentuk UU mesti segera melakukan revisi UU Pemilu, Pilkada, bahkan Partai Politik. Dia juga mendorong revisi itu dilakukan dengan metode omnibus law.
Ia menuturkan putusan MK itu secara tidak langsung meminta semua untuk mengubah UU ini secara omnibus law.
"Semuanya. Jadi, pelan-pelan putusan MK yang dicicil-cicil ini, ya kan. Ini mendorong pada akhirnya berkonsekuensi dengan pembahasan UU yang bermetodologi omnibus law. Makanya, menurut saya, ini harus menjadi perhatian kita semua dan harus memang diubah," tuturnya.
Doli juga khawatir MK seolah akan jadi pembentuk UU ketiga dengan menjatuhkan putusan yang semakin progresif. Dia menuturkan hal itu bisa terjadi jika pembentuk UU tak kunjung merespons putusan MK terkait sistem pemilu.
"Jadi, kenapa putusannya bertambah progresif oleh Mahkamah Konstitusi? Karena pembentuk UU tidak merespons putusan mereka," ujar Doli.
Dia mengaku ada kekhawatiran selama ini bahwa MK seolah jadi pembentuk UU ketiga seperti menguat.
"Padahal, UUD 1945 kita mengatakan pembentuk UU cuma dua, pemerintah dan DPR. Nah, jadi ini yang saya kira menjadi catatan," ujarnya.
Kemudian, ia menekankan pemilu serentak juga punya konsekuensi kerumitan dalam penyelenggaraan dan kejenuhan masyarakat. Doli mendukung pemilu nasional dan daerah dilakukan terpisah.
Ia bilang dirinya secara pribadi setuju bahwa awal agar keserentakan bisa dikaji ulang.
"Jadi, yang saya setujui itu judul besarnya adalah pengaturan keserentakan pemilu. Karena apa? Karena Pemilu 2024 kemarin yang baru pertama kali kita lakukan, itu dilaksanakan secara bersamaan dan berdekatan antara tiga jenis pemilu," ujarnya.
Sebelumnya, putusan MK menyayakan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.
Halaman Selanjutnya
Pun, ia menambahkan mekanisme pemilu keserentakan bisa memperdalam praktik pragmatisme politik.