Jakarta, VIVA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah signifikan 248 poin atau 3,84 persen di level 6.223, pada penutupan perdagangan Selasa, 18 Maret 2025.
Pantauan VIVA di RTI, tercatat total transaksi sebesar Rp 19,29 triliun dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 29,50 miliar saham. Dimana, sebanyak 118 saham tercatat menguat, 554 saham terkoreksi, dan 139 saham lainnya stagnan.
Seluruh sektor terpantau berada di zona merah pada perdagangan hari ini, dengan sektor yang anjlok cukup dalam yakni pada sektor bahan baku sebesar 10,4 persen, diikuti sektor utilitas yang turun 10,02 persen dan sektor properti yang melemah 6,16 persen.
Menanggapi situasi anjloknya IHSG hari ini hingga perdagangan sempat di-suspend oleh BEI, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, turut memberikan analisanya. Dia mengatakan, terdapat 3 variabel yang menyebabkan IHSG turun dalam 6 bulan terakhir, bahkan hari ini mengalami penurunan drastis hingga harus di-suspend dua kali oleh OJK.
Pertama adalah variabel yang sifatnya fundamental, terkait dengan hasil APBN Februari 2025 kemarin yang jauh dari harapan dan banyak pihak memperkirakan aspek fiskal Indonesia tahun ini akan sangat berat.
"Belum lagi ditambah dengan begitu banyak program dan kebijakan pemerintah yang dianggap oleh banyak pihak terlalu bombastis, kurang realistis, dan tanpa teknokrasi yang memadai," kata Wijayanto saat dihubungi VIVA, Selasa, 18 Maret 2025.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) (foto ilustrasi)
Kemudian dalam waktu dekat, lanjutnya, rating agency akan melakukan pemeringkatan credit rating Indonesia, sehingga banyak pihak khawatir bahwa rating Indonesia akan turun karena melihat situasi yang terjadi saat ini.
Kemudian variabel yang kedua adalah dari global. Dimana saat ini begitu banyak hedge fund global sedang dalam proses melakukan rebalancing aset. Mereka akan memindahkan aset dari tempat yang dianggap berisiko ke tempat yang dianggap aman sebagai respon terhadap kebijakan Donald Trump 2.0
"Nah variabel ketiga itu terjadi di Tanah Air, dimana banyak emiten yang melakukan buyback saham secara masif sehingga harga sahamnya melejit. Bahkan lipat dua, lipat tiga, dan seterusnya. Nah, dalam konteks ini banyak investor terutama asing melihat harga sahamnya artificial," katanya.
"Sebagian dari mereka menganggap ini sebagai opportunity. Pada saat mereka akan melakukan rebalancing, pada saat mereka berencana keluar, Nah ini saat yang tepat karena harga sahamnya sedang tinggi. Jadi mereka rebalancing pada saat yang bersamaan melakukan profit taking," sambung Wijayanto.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh OJK dan oleh pemerintah dalam kondisi tersebut?
Wijayanto mengusulkan agar OJK melakukan review yang mendalam terhadap kasus dan kejadian ini. Kemudian siapapun yang melanggar ketentuan harus disanksi dengan tegas, karena hal ini penting untuk membangun kredibilitas pasar.
"Yang kedua, saya usulkan kepada pemerintah untuk segera menyusun rencana kerja yang realistis, yang konkret dengan basis teknokrasi yang solid. Dan rencana ini dipaparkan kepada media, public, investor, dunia bisnis, Untuk membangun confidence, untuk meyakinkan kepada semua bahwa pemerintah itu sesungguhnya tahu apa yang mereka akan jalankan," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Kemudian variabel yang kedua adalah dari global. Dimana saat ini begitu banyak hedge fund global sedang dalam proses melakukan rebalancing aset. Mereka akan memindahkan aset dari tempat yang dianggap berisiko ke tempat yang dianggap aman sebagai respon terhadap kebijakan Donald Trump 2.0