Jakarta, VIVA – Di tengah gejolak ekonomi global, harga emas kembali menjadi sorotan. Sebab, logam mulia ini kerap menjadi pilihan investor saat dunia dilanda ketidakpastian, seperti yang terjadi belakangan ini, imbas perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Ketegangan antar dua negara tersebut, membuat para pelaku pasar berbondong-bondong mencari aset aman, yakni emas, yang mendadak jadi primadona.
Melansir dari BBC, Kamis, 17 April 2025, harga emas spot menyentuh angka tertinggi baru, yakni USD3.357,40 per troy ons atau setara Rp56,4 juta, sebelum turun tipis dari level puncaknya. Artinya, sejak awal tahun, harga emas telah meningkat sekitar 30 persen.
Lonjakan harga ini terjadi setelah Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell, menyampaikan bahwa kebijakan tarif Presiden Donald Trump kemungkinan besar akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong kenaikan harga-harga di tingkat konsumen.
"Tarif yang lebih tinggi dari perkiraan dalam beberapa minggu terakhir kemungkinan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi AS dan menyebabkan kenaikan harga bagi konsumen," ujar Powell dalam pidatonya di Economic Club of Chicago, Rabu lalu.
Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping
Pernyataan Powell muncul di tengah gejolak pasar keuangan global, sebagai respons terhadap tarif impor baru dan eskalasi konflik dagang antara AS dan China. Kondisi ini membuat emas berada dalam kondisi yang disebut 'full lifeboat mode' oleh analis Stephen Innes dari SPI Asset Management.
"Dolar goyah akibat kebijakan perdagangan yang membingungkan, dan para manajer portofolio kehilangan kepercayaan terhadap instrumen yang melibatkan kebijakan politik," jelas Innes.
Dia mengungkapkan, kenaikan harga emas tahun ini bahkan dibandingkan dengan lonjakan saat Revolusi Iran yang lebih dari 40 tahun lalu, di mana harga emas melesat hampir 120 persen dari November 1979 hingga Januari 1980. Sementara itu, harga emas menembus USD3.000 per troy ons atau sekitar Rp50,4 juta untuk pertama kalinya bulan lalu, seiring kekhawatiran pasar terhadap dampak perang dagang.
Jesper Koll dari Monex Group menyebut, para investor beralih ke emas sebagai 'perlindungan kepercayaan terhadap inflasi dan ketidakstabilan pemerintah.' "Semua orang kini mencari aset yang nyata," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintahan Trump telah menetapkan tarif sebesar 145 persen terhadap China. Lalu, China pun membalas dengan tarif 125 persen terhadap produk impor dari AS. Kemudian, terbaru, Trump menetapkan tarif 245 persen untuk China.
Trump berdalih, bahwa tarif ini akan membawa kembali manufaktur ke Amerika Serikat, menciptakan lapangan kerja, dan menghasilkan miliaran dolar dari penerimaan pajak. Namun, para investor justru menilai langkah ini akan memperburuk inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Halaman Selanjutnya
"Dolar goyah akibat kebijakan perdagangan yang membingungkan, dan para manajer portofolio kehilangan kepercayaan terhadap instrumen yang melibatkan kebijakan politik," jelas Innes.