Jaksa Beberkan Fakta Baru di Sidang Hasto, Soal Apa?

5 hours ago 2

Senin, 14 Juli 2025 - 13:04 WIB

Jakarta, VIVA - Penyidikan perkara dugaan perintangan penyidikan dan suap yang menyeret Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, ditegaskan berdasar bukti baru yang ditemukan oleh penyidik.

Hal itu diungkap Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Yunarwanto dalam sidang lanjutan.

Penegasan ini menanggapi dalil nota pembelaan Hasto, yang menyebut surat dakwaan dan surat tuntutan jaksa bertentangan dengan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga harus ditolak dan dikesampingkan lantaran bertentangan dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan.

"Bukti tersebut belum dijadikan alat bukti dalam persidangan perkara atas nama Wahyu Setiawan bersama-sama Agustiani Tio Fridelina dan perkara Saeful Bahri," ucap JPU saat membacakan replik atau tanggapan terhadap nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 14 Juli 2025.

Penyidik KPK Rossa Purbo Bekti bersaksi di sidang Hasto Kristiyanto

Photo :

  • VIVA/Zendy Pradana

JPU menjelaskan bahwa bukti baru tersebut mengungkap peran Hasto dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian suap kepada Wahyu bersama dengan Tio.

Dengan demikian, dikatakan bahwa meskipun dalam putusan terdahulu peran Hasto belum dimunculkan, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk Hasto didakwa melakukan tindak pidana korupsi.

JPU mengungkapkan hal itu sesuai dengan keterangan ahli Hukum Tata Negara Maruarar Siahaan dalam persidangan, yang menjelaskan bahwa jika tersangka tidak ada kaitannya dengan yang sudah disebutkan di dalam perkara lama maka menjadi suatu perkara baru.

"Tetapi kalau itu keterangan saksi yang disebutkan sesuatu yang baru betul dan tidak terkait dengan apa yang sudah diputus oleh Mahkamah, ahli kira beralasan untuk suatu perkara baru," tutur JPU.

Hal tersebut, menurut JPU, juga bersesuaian dengan keterangan ahli pidana Muhammad Fatahilah yang memberikan pendapat di persidangan bahwa ketika sebuah perkara sudah disidangkan dan inkrah, namun dalam perkembangannya ada pelaku baru yang berkaitan dengan perkara tersebut, maka pemeriksaan perkara dilakukan sendiri karena pada prinsipnya pemeriksaan perkara pidana berdiri sendiri.

Sementara dalam setiap pemeriksaan ditemukan berbagai fakta baru untuk pengembangan perkara, dikatakan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan kembali untuk orang yang belum diproses.

Sebelumnya, Hasto dituntut pidana 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan dalam kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap.

Dalam kasus tersebut, ia didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019-2024.

Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.

Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.

Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam rentang waktu 2019—2020.

Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pengganti antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Ant)

Halaman Selanjutnya

JPU mengungkapkan hal itu sesuai dengan keterangan ahli Hukum Tata Negara Maruarar Siahaan dalam persidangan, yang menjelaskan bahwa jika tersangka tidak ada kaitannya dengan yang sudah disebutkan di dalam perkara lama maka menjadi suatu perkara baru.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |