Jakarta, VIVA – Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik keras rencana rekrutmen puluhan ribu calon Tamtama TNI AD berupa Batalyon Teritorial Pembangunan. Rencana rekrutmen dikritik karena dilakukan bukan untuk kesiapan perang melainkan jadi pasukan ketahanan pangan hingga pelayan kesehatan.
"Koalisi memandang rencana rekrutmen tersebut sudah keluar jauh dari tugas utama TNI sebagi alat pertahanan negara," demikian isi siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil yang dikutip pada Rabu 11 Juni 2025.
Koalisi Sipil menilai TNI direkrut untuk dilatih jika dalam keadaan mendesak yang mengharuskan adanya perang. Tapi, rekrutan puluhan calon prajurit itu justru akan mengurusi perihal pertanian hingga perkebunan.
"TNI direkrut, dilatih, dan dididik untuk perang. Dan, bukan untuk mengurusi urusan-urusan di luar perang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan," lanjut isi keterangan Koalisi Masyarakat Sipil.
Menurut Koalisi Sipil, kebijakan perekrutan itu juga menyalahi tugas utama TNI sebagai alat pertahanan negara. Tugas TNI itu diatur dalam konstitusi dan UU TNI.
VIVA Militer : Pasukan TNI sisir kelompok bersenjata OPM di Papua (ilustrasi)
Koalisi Sipil menyatakan perubahan lingkungan strategis serta ancaman perang yang semakin kompleks dan modern sebenarnya menuntut TNI untuk fokus. TNI juga dituntut untuk memiliki keahlian spesifik di bidang peperangan.
"Dalam konteks itu, menempatkan TNI untuk mengurusi hal-hal di luar pertahanan justru akan melemahkan TNI. Dan, membuat TNI menjadi tidak fokus untuk menghadapi ancaman perang itu sendiri. Dan, secara tidak langsung akan mengancam kedaulatan negara," lanjut keterangan koalisi sipil.
Pun, Koalisi Sipil menilai perekrutan dan pelibatan TNI untuk urusan seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan adalah bentuk kegagalan. Sebab, untuk menjaga batas demokrasi perlu ada pemisahan antara urusan sipil dan militer.
Padahal, konstitusi UUD 1945 dan UU TNI telah menetapkan pembatasan terhadap TNI yang jelas-jelas tak memiliki kewenangan mengurus pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan.
"Hal ini tentu mencederai semangat Reformasi TNI yang menginginkan terbentuknya TNI yang profesional dan tidak lagi ikut-ikutan mengurusi urusan sipil," jelas keterangan itu.
Koalisi sipil pun mendesak Presiden RI Prabowo Subianto dan DPR RI untuk melakukan pengawasan dan evaluasi tentang perekrutan dan pelibatan TNI yang berlebihan tersebut. Cara iti dikritik telah menyalahi jati diri TNI sebagai alat pertahanan negara sesuai amanat konstitusi dan UU TNI.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil yang menyoroti persoalan ini terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, hingga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat.
Diketahui, Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AD Brighen Wahyu Yudhayana menyatakan ada rencana merekrut calon tamtama sebanyak 24 ribu orang untuk membentuk struktur organisasi baru berupa Batalyon Teritorial Pembangunan.
Halaman Selanjutnya
Pun, Koalisi Sipil menilai perekrutan dan pelibatan TNI untuk urusan seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan adalah bentuk kegagalan. Sebab, untuk menjaga batas demokrasi perlu ada pemisahan antara urusan sipil dan militer.