Jakarta, VIVA – Heboh adanya setifikat lahan di area perairan yang dikelilingi pagar laut jadi sorotan masyarakat beberapa waktu ini. Hal itu menimbulkan polemik terkait apakan diperbolehkan area peairan di pesisir lait memiliki sertifikat.
Namun, mungkin banyak yang tak tahu, adanya sertifikat kepemilikan baik berupa SHM (Sertifikat Hak Milik), maupun HGB (Hak Guna Bangunan) di perairan pesisir, adalah hal yang lumrah. Hal itu diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UU PA).
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria Suwardjono, dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir, Jakarta, menjelaskan hal tersebut.
"Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu," kata MAria dikutip, Kamis, 6 Februari 2025.
Dia menjelaskan, sejumlah suku di Indonesia, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisisr. Sebut saja Suku Bajo yang kondang dengan pemukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Bahkan, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat dipimpin Sofyan Djalil menyerahkan HGB kepada Suku Bajo. Setahun kemudian, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan HGB kepada Suku Bajo yang menghuni Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).
"Ingat semboyan nenek moyangku adalah pelaut. Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung. Termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau. Atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam. Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru," terangnya.
Sebelumnya, Pakar Hukum Agraria UGM, Prof Nurhasan Ismail menerangkan pasal 1 ayat 4 UU PA menyatakan, pengertian tanah termasuk daratan yang posisiya di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang danau atau sungai, masuk definisi tanah atau lahan.
Khusus tanah di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika yang ingin dimanfaatkan adalah kolom airnya, maka masuk pernah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk tingkat pusat. Jika lokasinya di daerah menjadi wewenang kepala daerah atau dinas terkait.
Terkait gaduh pagar laut yang telah mengantongi HGB’ di Tangerang dan Sidoarjo, dia menyebutnya sebagai bentuk kelatahan. Dari aturan hukumnya, memungkinkan adanya SHGB itu. “Misalnya di Sidoarjo, kalau HGB-nya mau diperpanjang, berati sudah 25 tahun yang lalu diberikan. Jadi, kenapa dipermasalahkan sekarang? Itu kelatahan politis,” kata dia.
Sementara itu, di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa hingga Pantai Selatan Madura, masyarakat memanfaatkan pesisir untuk menopang kehidupannya. Pelan-pelan mereka melakukan reklamasi, rujukan yang digunakan cukup dengan hukum adat.
“Karena tidak ada tanah lagi, negara tidak mampu menyediakan tanah untuk mereka. Ya mereka membentuk sendiri tanah itu. Pantai utara sepanjang Pulau Jawa ini lho, termasuk Madura," jelasnya.
Pemukiman Suku Bajo.
Photo :
- http://www.cumilebay.com/
Terkait hal ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid sebelumya ngotot mencabut hak tanah atau sertifikat pagar laut di Tangerang dan Bekasi. Baik berbentuk SHGB maupun SHM.
“Tidak gampang, karena setiap pembatalan itu berpotensi di-challenge di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Yang penting ending-nya semua sertifikat di luar garis pantai, kami batalkan,” kata Nusron di Jakarta.
Sejauh ini, Kementerian ATR/BPN membatalkan 50 sertifikat yang diterbitkan di wilayah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang. Adapun secara total di pagar laut Tangerang, terdapat 263 bidang dalam bentuk SHGB dan 17 SHM.
Asal tahu saja, kasus pagar laut di Tangerang yang membentang sepanjang 30,6 kilometer, bisa jadi tujuannya untuk budidaya rumput laut atau alat tangkap nelayan. Pesisir Tangerang termasuk kawasan abrasi luar biasa dahsyat.
Suka atau tidak, ancaman abrasi di pantai utara Pulau Jawa sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikeluarkan pada 2015, sedikitnya 400 kilometer garis pantai di Indonesia, tergerus abrasi. Dari total panjang pantai 745 kilometer, sebesar 44 persen menghilang ditelan abrasi. Termasuk daratan di pesisir Tangerang yang luasnya 579 hektare, kini berubah menjadi laut periode 1995-2015.
Ibu suku Bajo membelah bulu babi untuk makan anaknya
Photo :
- Antara/ Zabur Karuru
Berdasarkan jurnal Departemen Geografi Universitas Indonesia (UI) bertajuk 'Monitoring Perubahan Garis Pantai untuk Evaluasi Rencana Tata Ruang dan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Tangerang', menunjukkan semua desa di pesisir Kabupaten Tangerang, hilang digulung abrasi, atau akresi dalam 10 tahun terakhir.
Di mana, desa dengan laju dan luas akresi tertinggi berada di Desa Kohod sebesar 31,41 m/tahun dan 55,51 hektare. Sedangkan desa yang memiliki laju abrasi tertinggi adalah Desa Tanjung Burung sebesar 23,12 m/tahun dengan luas abrasi tertinggi di Desa Ketapang seluas 27,65 hektare.
Halaman Selanjutnya
Sebelumnya, Pakar Hukum Agraria UGM, Prof Nurhasan Ismail menerangkan pasal 1 ayat 4 UU PA menyatakan, pengertian tanah termasuk daratan yang posisiya di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang danau atau sungai, masuk definisi tanah atau lahan.