Jakarta, VIVA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan, terakait pembagian risiko atau co-payment yang ikut ditanggung oleh pemegang polis sebesar minimal 10 persen. Kebijakan ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026.
Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, menilai bahwa penerapan co-payment tidak akan merugikan masyarakat sebab ketentuan ini akan mengarah pada penurunan premi karena selama ini banyak klaim yang berlebihan atau overutilitas.
"Tidak merugikan sepanjang perusahaan asuransi menunjukkan komitmen pelayanan klaim yang lebih baik dan upaya penurunan premi sebagai kompensasi atas berlakunya tanggungan sendiri atau co-payment,” kata Irvan dalam keterangannya Rabu, 11 Juni 2025.
Menurutnya, skema co-payment bisa membantu meminimalisir potensi penyalahgunaan atau fraud saat pengajuan klaim. Ia bilang, potensi moral hazard dan fraud yang bisa berasal dari berbagai pihak, termasuk perusahaan asuransi, rumah sakit, dokter, hingga pasien saat ini sangatlah tinggi.
Ilustrasi Asuransi Kesehatan
Photo :
- freepik.com/jcomp
“Ini akan mengurangi over utilization yakni penggunaan diagnosis medis dan pengobatan yang berlebihan dengan dalih mumpung ada asuransi,” terangnya.
Selain itu, ia menilai mekanisme co payment ini juga tidak akan menurunkan minat masyarakat di tengah situasi biaya inflasi medis yang terjadi.
“Karena kenaikan inflasi medis lebih tinggi dari tanggungan sendiri klaim dan BPJS bukan opsi untuk migrasi karena BPJS akan menerapkan Klas Rawat Inap Standard (KRIS),” imbuhnya.
Irvan mengatakan, co payment juga berfungsi sebagai premi tambahan manakala terjadi klaim saja. Untuk itu, dia menekankan pentingnya edukasi kepada nasabah agar mereka paham bahwa skema co-payment merupakan bentuk pembagian risiko guna menjaga keberlanjutan layanan asuransi.
“Untuk menjaga sustainability asuransi dalam memberi pelayanan kepada nasabah. Karena premi bersifat biaya tetap (fix cost) sedangkan co payment bersifat variable cost hanya saat terjadi klaim saja,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon mengatakan bahwa skema co payment untuk produk asuransi kesehatan akan membuat tarif premi lebih terjangkau bagi masyarakat.
Budi menilai bahwa skema co-payment diperlukan untuk menahan laju kenaikan premi. Tanpa skema ini, lonjakan biaya kesehatan akan membuat premi terus naik dan menjadi beban tambahan yang tidak terjangkau oleh banyak pihak.
Ilustrasi asuransi/menabung dan mengelola keuangan.
“Kalau kita percaya bahwa apa yang terjadi belakangan ini memberatkan masyarakat, klaim naik. Klaim naik itu pasti memberatkan kami. Tapi at the end of the day, akan memberatkan masyarakat ketika harus membayar klaim ini,” tegas Budi.
Adapun aturan mengenai co-payment tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025. Dalam hal ini co-payment yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim, dengan batas maksimum Rp 300.000 untuk klaim rawat jalan dan Rp 3.000.000 untuk klaim rawat inap.
Objek pengaturan dalam SEOJK 7/2025 tidak berlaku untuk skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan ditujukan hanya untuk produk asuransi kesehatan komersial.
Halaman Selanjutnya
“Karena kenaikan inflasi medis lebih tinggi dari tanggungan sendiri klaim dan BPJS bukan opsi untuk migrasi karena BPJS akan menerapkan Klas Rawat Inap Standard (KRIS),” imbuhnya.