Jakarta, VIVA – Bagi sebagian besar orang, istilah distonia mungkin terdengar asing. Gangguan gerak ini sulit untuk dijelaskan. Namun, ketika dijelaskan dengan gejala seperti “kedutan” atau leher yang “tengleng”, orang biasanya langsung memahaminya. Begitu juga dengan istilah sindrom Tourette, yang merujuk pada serangkaian gejala berupa gerakan tak terkendali pada otot (tics), terutama di area wajah dan otot vokal.
Penderita distonia dan sindrom Tourette dengan tingkat keparahan berat dapat ditangani dengan terapi Deep Brain Stimulation (DBS). Dr. dr. Rocksy Fransisca V. Situmeang, Sp.N bersama Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, Sp.BS dari RS Siloam Lippo Village, akan memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai DBS sebagai metode penanganan kedua penyakit tersebut.
Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, Sp.BS
Distonia: Gangguan Gerak yang Kerap Tak Disadari
Meski sering terdengar asing, gangguan ini sebenarnya cukup umum, hanya saja sering kali tidak terdiagnosis dengan baik. Menurut Dr. dr. Rocksy Fransisca V. Situmeang, SpN (K), dokter spesialis neurologi di RS Siloam Lippo Village, distonia merupakan gangguan neurologi yang ditandai dengan kekakuan otot yang berkepanjangan dan di luar kendali, sehingga sering menyebabkan gerakan berulang dan postur tubuh menjadi tidak normal serta rasa nyeri yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Distonia jarang terjadi, dialami oleh sekitar 16 per 100.000 orang. Gejala yang muncul dapat mengenai berbagai kelompok otot, seperti di daerah leher yang orang awam sebut dengan “tengleng” atau “tengeng”, otot-otot wajah yang dikenal sebagai kedutan, otot vokal yang menimbukan suara aneh yang tidak terkontrol, dan otot-otot tangan serta kaki yang dapat menimbulkan gerakan aneh seperti menari.
Menurut dr. Rocksy, mendiagnosis distonia memerlukan evaluasi klinis mendalam. “Dokter akan melakukan wawancara medis untuk mengetahui kapan gejala pertama kali muncul, apakah ada riwayat keluarga dengan kondisi serupa, serta faktor pemicu seperti stres atau trauma,” jelasnya. Beberapa kasus mungkin memerlukan pemeriksaan tambahan seperti MRI atau tes genetik untuk memastikan penyebabnya.
Sindrom Tourette: Lebih dari Sekadar Kedutan
Sindrom Tourette merupakan gangguan neurologis kompleks yang ditandai dengan munculnya tics, yaitu gerakan otot yang tidak disadari. Tics ini dapat berupa kedutan pada wajah, otot sekitar mata dan pipi (motor tics), hingga suara-suara tidak disengaja seperti berdehem atau bahkan teriakan mendadak yang tidak dapat dikontrol (vocal tics). Gejala ini sering kali membuat penderitanya kesulitan dalam berinteraksi sosial dan dapat menimbulkan kecemasan atau depresi.
Sindrom Tourette lebih sering terjadi pada laki-laki dan diduga dipengaruhi oleh faktor genetik serta stres pada ibu hamil. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa sindrom ini bisa diperburuk oleh kondisi lingkungan yang penuh tekanan dan gangguan kecemasan yang mendasarinya.
Diagnosis sindrom Tourette melibatkan wawancara klinis dan pengamatan jangka panjang terhadap gejala pasien. “Kami menilai frekuensi dan tingkat keparahan tics menggunakan skala khusus seperti Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS). Jika skornya di atas 35/50, prosedur DBS bisa menjadi opsi yang dipertimbangkan,” kata Dr. Rocksy.
Terapi Pengobatan dan Peran DBS
Untuk menangani distonia dan sindrom Tourette, terapi awal biasanya berupa kombinasi obat-obatan dan terapi fisik. Penggunaan obat ditujukan untuk meredakan nyeri serta mengurangi kontraksi otot yang tidak terkendali, sementara fisioterapi dapat membantu pasien dalam memperbaiki postur tubuh serta meningkatkan kontrol terhadap gerakan mereka.
Dalam kasus sindrom Tourette, terapi psikologis juga sering kali diperlukan karena gangguan ini berkaitan erat dengan faktor kecemasan dan gangguan psikologis lainnya seperti OCD (Obsessive Compulsive Disorder) atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Konseling dan terapi perilaku kognitif dapat membantu pasien dalam mengatasi dampak psikologis dari kondisi mereka.
Namun, bagi penderita dengan kondisi berat yang tidak membaik dengan terapi konvensional, DBS menjadi pilihan. Prosedur ini bekerja dengan cara menanamkan elektroda di dalam otak yang memberikan stimulasi listrik ke area yang mengontrol gerakan, sehingga gejala dapat berkurang secara signifikan.
Syarat dan Prosedur DBS
Menurut Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, SpBS, dokter spesialis bedah saraf di RS Siloam Lippo Village, prosedur DBS hanya bisa dilakukan pada pasien yang memenuhi beberapa syarat tertentu.
DBS direkomendasikan bagi pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi, terutama yang mengalami distonia umum (general) atau sindrom Tourette berat. Evaluasi sebelum prosedur melibatkan diskusi antara dokter spesialis saraf dan bedah saraf, serta keluarga pasien untuk memastikan apakah prosedur ini merupakan pilihan terbaik. Selain itu, pasien harus menjalani serangkaian pemeriksaan neurologis dan psikologis untuk mengidentifikasi apakah ada kontraindikasi medis sebelum operasi.
Keunggulan RS Siloam Lippo Village dalam Penanganan DBS
RS Siloam Lippo Village memiliki beberapa keunggulan dalam menangani prosedur DBS, antara lain:
• Pendekatan Multidisiplin: Tim medis multidisplin terdiri dari dokter spesialis bedah saraf, saraf, anestesi, rehabilitasi medik, dan psikolog yang bekerja sama dalam perencanaan dan pelaksanaan prosedur.
• Fasilitas Medis Terkini: Rumah sakit ini dilengkapi dengan teknologi canggih seperti MRI 3 Tesla dan sistem pemetaan otak presisi tinggi untuk memastikan keakuratan prosedur.
• Pengalaman dan Keahlian: Tim dokter yang berpengalaman dalam menangani DBS untuk berbagai gangguan neurologis, termasuk distonia dan sindrom Tourette.
• Layanan Pascaoperasi yang Optimal: Pasien mendapatkan pemantauan berkelanjutan dengan evaluasi berkala untuk memastikan efektivitas terapi dan menyesuaikan parameter stimulasi sesuai kebutuhan individu.
Langkah Prosedur DBS
• Diagnosis dan Evaluasi : Proses diawali dengan pemeriksaan MRI untuk memastikan tidak ada kelainan otak lain, seperti tumor atau riwayat stroke. Pasien juga menjalani serangkaian tes psikologis dan neurologis guna mengevaluasi kondisi secara menyeluruh.
• Persiapan: Sebelum tindakan, pasien diminta mencukur rambut untuk meminimalkan risiko infeksi. Head frame dipasang di kepala untuk menentukan titik stimulasi di otak. Selanjutnya, dilakukan CT scan yang digabungkan dengan hasil MRI untuk penentuan lokasi pemasangan elektroda secara akurat.
• Tindakan Pemasangan: Elektroda DBS dipasang di area target otak, yaitu globus pallidus internus (GPI) untuk penderita distonia atau thalamus medial untuk sindrom Tourette. Selama operasi, pasien tetap sadar agar dokter dapat mengevaluasi efek stimulasi secara langsung
• Pasca Tindakan: Pasien akan menjalani perawatan inap selama 3-5 hari untuk pemantauan kondisi. DBS akan diaktifkan dua minggu setelah pemasangan untuk memastikan hasil yang optimal.
Keberhasilan dan Harapan Masa Depan Terapi DBS
Menurut dr. Made, tingkat keberhasilan DBS di RS Siloam Lippo Village saat ini mencapai 78-82 persen, sejalan dengan data internasional.
“Distonia memiliki peluang sembuh lebih tinggi dibandingkan dengan sindrom Tourette yang terkait dengan faktor psikologis. Namun, DBS tetap membantu meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan,” tambahnya.
DBS juga dapat dilakukan secara berkala jika efeknya mulai berkurang. “Baterai DBS dapat bertahan beberapa tahun tergantung jenisnya. Jika gejala mulai muncul kembali, pengaturan ulang dapat dilakukan atau baterai diganti,” jelas dr. Made.
Selain itu, pasien tetap perlu menjalani terapi dan kontrol rutin untuk memastikan bahwa stimulasi yang diberikan tetap optimal. Jika ada gejala yang belum terkontrol, dokter dapat menyesuaikan voltase stimulasi.
Jika Anda atau kerabat memiliki pertanyaan lebih lanjut atau sedang mengalami gejala yang mengarah pada distonia atau sindrom Tourette, segera konsultasikan dengan dokter spesialis untuk mendapatkan penanganan segera.
Halaman Selanjutnya
Menurut dr. Rocksy, mendiagnosis distonia memerlukan evaluasi klinis mendalam. “Dokter akan melakukan wawancara medis untuk mengetahui kapan gejala pertama kali muncul, apakah ada riwayat keluarga dengan kondisi serupa, serta faktor pemicu seperti stres atau trauma,” jelasnya. Beberapa kasus mungkin memerlukan pemeriksaan tambahan seperti MRI atau tes genetik untuk memastikan penyebabnya.