Ada ‘Purbaya Effect’? BI Ungkap Dampak Guyuran Rp200 Triliun ke Himbara

5 hours ago 3

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 06:13 WIB

Bukittinggi, VIVA – Belum lama ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan dana sebesar Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) ke lima bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Langkah ini bertujuan memperkuat likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif. 

Namun, hingga kini, penyaluran kredit dari dana tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan soal efektivitas kebijakan baru tersebut.

Terkait itu, Direktur Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Irman Robinson, menjelaskan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi lambannya transmisi dana pemerintah ke kredit. "Memang kalau kita lihat dari sisi demand, ini masih ada tantangan. Tadi ada istilahnya mengenai wait and see. Dan ini memang terkait dengan beberapa faktor," ujar Irman saat diskusi media di Bukittinggi, Sumatera Barat, Jumat, 24 Oktober 2025.

“Yang pertama, memang karena ada kehati-hatian dari korporasi, karena ada ketidakpastian global yang meningkat, mengenai kebijakan tarif dan sebagainya, mengenai pertumbuhan ekonomi global. Tentunya korporasi juga mulai melihat bagaimana dan kapan mereka masuk untuk investasi, jadi wait and see,” sambungnya. 

Kemudian, sambungnya, ada pula sektor-sektor yang tumbuhnya cukup bagus dan lebih memilih menggunakan dana kas internal. "Beberapa sektor yang masih cukup bagus itu, mereka punya dana kas yang juga masih tinggi, sehingga masih mengutamakan penggunaan dana internal. Ini yang membuat memang permintaan kredit jadi terhambat atau menjadi terbatas untuk beberapa sektor," terangnya. 

Meski faktor permintaan dari korporasi yang masih berhati-hati, Irman menyebut kondisi likuiditas di perbankan sejauh ini tetap terjaga. “Yang ketiga, tadi sudah kami sampaikan bahwa suku bunga kredit juga masih terbatas transmisinya. Karena kami yakini bahwa kalau misalnya transmisi suku bunga itu bisa lebih cepat, tentunya ini juga akan menolong perbaikan dari demand side-nya juga,” jelasnya.

Dalam mekanisme kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) terbaru, BI menetapkan persentase insentif maksimal 5,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bank, bukan lagi berdasarkan Giro Wajib Minimum (GWM). 

Irman menegaskan, pemberian insentif dilakukan secara triwulanan dan disesuaikan dengan realisasi pertumbuhan kredit.

Halaman Selanjutnya

Terkait proyeksi pertumbuhan kredit, BI optimis meski tahun ini pertumbuhan kredit belum tinggi. “Ya, pertumbuhan kredit kami yakin di tahun ini 8–11 persen. Kalau tahun depan, kita juga yakin itu akan meningkat di tahun 2026,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |