Aipda PS Lecehkan Korban Pemerkosaan di Kantor Polisi, DPR: Kegagalan Paling Telanjang dari Sistem Hukum

1 day ago 4

Rabu, 11 Juni 2025 - 10:13 WIB

Jakarta, VIVA - Kelakuan oknum polisi berinisial Aipda PS yang melecehkan seorang wanita korban pemerkosaan saat melapor ke Polsek Wewena Selatan, Sumba Daya Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) jadi sorotan DPR. Ulah Aipda PS dinilai gagal memberikan rasa aman ke masyarakat.

Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menyebut kasus bejat Aipda PS sebagai bentuk kegagalan paling 'telanjang'.

"Kegagalan paling telanjang dari sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan bagi masyarakat. Seharusnya kantor polisi menjadi tempat paling aman bagi rakyat, tapi ini malah sebaliknya,” kata Sudding, dalam keterangannya dikutip pada Rabu, 11 Juni 2025.

Suding mengatakan kasus Aipda PS bukan hanya sekadar pelanggaran etik. Namun, ia bilang hal itu sudah kejahatan yang mempermalukan institusi Polri di mata publik.

"Seorang warga negara datang ke kantor polisi karena telah menjadi korban kejahatan seksual. Tapi, alih-alih mendapat perlindungan, dia justru menjadi korban untuk kedua kalinya oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung," tuturnya.

Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding saat Rapat Kerja Komisi III DPR RI

Dia menilai kasus itu juga sebagai indikasi kegagalan sistemik dalam pembinaan personel. Hal itu termasuk dalam pengawasan internal, dan kultur kekuasaan di tubuh aparat penegak hukum.

"Jika kantor polisi berubah menjadi tempat pelecehan, maka seluruh konsep negara hukum sedang dalam bahaya," jelas politikus PAN itu. 

Menurut dia, kasus itu tak bisa hanya diselesaikan dalam sidang etik atau diberi teguran atau sanksi. "Karena ini adalah kejahatan pidana, bukan hanya pelanggaran disiplin. Pelakunya harus diadili di pengadilan umum, dengan proses yang bisa diawasi oleh masyarakat," ujar legislator dari Dapil Sulawesi Tengah itu. 

Lebih lanjut, dia menuturkan Komisi III DPR akan meminta penjelasan soal penanganan kasus ini dari Polri. Hal ini sebagai upaya untuk mengevaluasi mekanisme pengawasan terhadap perilaku anggota di lapangan terutama yang menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.

"Kita tidak bisa terus-menerus berlindung di balik narasi 'oknum'. Jika kasus seperti ini terus muncul, berarti ada yang salah dalam sistem rekrutmen, pelatihan, dan pengawasan aparat," jelas Suding.

"Sudah saatnya Polri membersihkan institusinya secara serius dari mental predator berseragam," tutur Sudding.

Sudding menambahkan kasus ulah Aipda PS juga memperlihatkan perlindungan korban kekerasan seksual masih jauh dari ideal. 

“Kasus ini harus menjadi pengingat keras bahwa upaya reformasi hukum dan kelembagaan di Indonesia belum menyentuh akar masalah," sebut Suding.

Maka itu, Sudding mendesak agar dilakukan audit menyeluruh terhadap mekanisme pelaporan kekerasan seksual di seluruh jajaran kepolisian. Menurut dia, perlu adanya petugas perempuan, pemisahan ruang pemeriksaan, dan pendampingan psikologis bagi korban. 

Bagi dia, langkah itu tak bisa ditunda lagi.

"Ketika korban lebih percaya media sosial daripada sistem hukum, maka jelas negara sedang kehilangan kredibilitasnya," tutur Sudding. 

Insiden pelecehan seksual itu berawal saat korban MML mendatangi Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan tindak pemerkosaan yang dialaminya di Desa Mandungo, Wewewa Selatan pada 2 Maret 2025.

Saat beri keterangan, MML diperiksa oleh Aipda PS. Namun, saat proses pemeriksaan tersebut, MML diduga justru menjadi korban kekerasan seksual oleh anggota polisi yang menangani laporannya tersebut. MML mendapat perlakuan cabul dari Aipda PS.

Usai berbuat bejat, Aipda PS disebut minta MML untuk tak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun. Namun, MML akhirnya memberanikan diri untuk bersuara di media sosial hingga unggahannya dapat sorotan publik. 

Apalagi kasus pemerkosaan yang menimpa MML juga ternyata malah Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 dengan alasan hubungan seksual dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal, pengakuan MML diancam dengan parang oleh pelaku sebelum diperkosa. 

Aipda PS yang menjabat Kanit Provos Polsek Wewewa Selatan saat ini sudah dijatuhi sanksi penempatan khusus (patsus) sejak Sabtu (7/6). Aipda PS bakal menjalani proses hukum lebih lanjut. 

Halaman Selanjutnya

Lebih lanjut, dia menuturkan Komisi III DPR akan meminta penjelasan soal penanganan kasus ini dari Polri. Hal ini sebagai upaya untuk mengevaluasi mekanisme pengawasan terhadap perilaku anggota di lapangan terutama yang menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |