VIVA – Pernyataan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Marsudi Syuhud, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Ia menyebut bahwa sejak dulu sudah menjadi hal lumrah bagi santri untuk ikut membantu pembangunan gedung di lingkungan pesantren.
“Saya orang pesantren, dari pesantren zaman dulu salaf. Yang bangun kombongan, kalau sekarang itu dormitory atau asrama santri. Kalau dari zaman saya pesantren dulu, yang bangun itu santri,” ujar Marsudi dalam program tvOne, yang dikutip pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Waketum MUI Ungkap Budaya Santri Bangun Gedung di Pesantren Sudah Sejak Lama
Photo :
- Dok. Ponpes Gontor
Namun, pernyataan tersebut langsung dibantah oleh salah satu alumni sekaligus wali santri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang keluarganya menjadi korban dalam tragedi ambruknya bangunan ponpes tersebut.
Abdul Wahid, alumni sekaligus orang tua santri, yang menegaskan bahwa tidak benar santri di Ponpes Al Khoziny ikut membantu proses pembangunan sebagai bentuk hukuman. Menurutnya, semua pekerjaan pembangunan dilakukan oleh tenaga profesional, bukan oleh para santri.
“Yang bangun itu tukang-tukang profesional semua. Malah luar biasa. Mulai zaman dulu nggak ada apa-apa kan. Hanya baru sekarang yang kena musibah. Nggak ada istilah hukuman ngecor tuh, nggak ada,” tegas Abdul Wahid yang dikutip dari YouTube tvOne.
Abdul Wahid diketahui kehilangan dua anggota keluarganya dalam tragedi tersebut — anak dan cucunya yang masih berusia 17 tahun. Meski dirundung duka mendalam, ia tetap berusaha tenang dan menegaskan bahwa pondok tempat keluarganya menimba ilmu tetaplah lembaga yang baik dan bersejarah panjang.
“Yang namanya musibah kan tidak ada yang meminta. Jadi ini mungkin yang sudah Allah takdirkan pada anak saya,” ujarnya dengan nada penuh keikhlasan.
Lebih jauh, Abdul Wahid juga menjelaskan bahwa selama ia menjadi santri dulu, hukuman yang diterapkan di pondok bersifat ringan dan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan bangunan.
“Kalau di pondok itu hukuman-hukuman itu biasanya kalau zaman dulu saya itu gundul rambut, rambut dipotong,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa biaya pendidikan di Ponpes Al Khoziny justru tergolong sangat terjangkau, dengan fasilitas yang cukup baik bagi para santri. Disebutnya bahwa biaya per bulan hanya Rp80 ribu.
Halaman Selanjutnya
“Murah kok. Biaya sekolahnya, pondoknya, listriknya cuma segitu. Kiriman anak saya itu malah berapa ya? Satu bulan itu Rp800.000 sama kosnya sama SPP-nya semuanya,” ungkapnya.