Jakarta, VIVA – Aptrindo (Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia) mengancam mogok massal menjelang mudik Lebaran karena adanya peraturan pembatasan kendaraan yang dinilai merugikan, khususnya untuk sopir truk.
Diketahui, Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Direktur Jenderal Bina Marga tentang Pengaturan Lalu Lintas Jalan Serta Penyeberangan Selama Masa Arus Mudik dan Arus Balik Angkutan Lebaran Tahun 2025/1446 Hijriah.
Dalam SKB tentang pengaturan lalu lintas jalan serta penyeberangan selama masa arus mudik/balik angkutan Lebaran 2025/144 Hijriah itu, pembatasan angkutan barang akan diberlakukan mulai Senin (24 Maret 2025) pukul 00.00 WIB hingga Selasa (8 April 2025) pukul 24.00 di jalan tol dan nontol.
Pada Lebaran mendatang, pembatasan diberlakukan selama 16 hari, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya 10 hingga 12 hari.
Keputusan pembatasan pengoperasian angkutan barang ini dinilai tidak mempertimbangkan masukan dari pihak asosiasi para pelaku usaha angkutan barang mengenai dampak lamanya pembatasan pengoperasian angkutan barang.
Maka dari itu, Aptrindo Jakarta akan melakukan aksi stop operasi pada 20 Maret hingga 21 Maret 2025 dan meminta agar pemerintah merevisi durasi pembatasan operasional kendaraan angkutan barang selama masa Lebaran tahun 2025.
Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat mengatakan bahwa jika benar-benar berhenti beroperasi, bukan hanya berdampak langsung kepada pemilik kendaraan, melainkan juga pada pelaku usaha yang terlibat, seperti pengemudi, tenaga buruh bongkar muat, pabrik, pergudangan, perkapalan, dan para pemangku kepentingan dalam dunia logistik.
"Pengumuman pelarangan beroperasi hendaknya diberlakukan 1 bulan sebelumnya. Agar para pengusaha angkutan sudah bisa menjadwalkan keberangkatan dan pulang kembali armada truknya. Masa pelarangan tidak perlu lama (tidak lebih dari 10 hari)," ujarnya, dikutip VIVA dari keterangan resmi.
Ilustrasi truk dan kendaraan berat melintas di jalan raya.
Photo :
- ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Menurutnya, harus ada kompromi dan jalan tengahnya adalah pemerintah mengikuti permintaan APTRINDO namun dengan catatan dilarang beroperasi armada truk yang berlebihan dimensi dan muatan (over dimension and over load/ODOL).
Djoko pun menyoroti kondisi kesejahteraan sopir truk sudah tidak seperti dulu. Akibat persaingan tarif mengangkut barang juga berimbas pada pendapatan sopir truk.
Sepanjang 2024, Pusat Kebijakan Keselamatan dan Keamanan Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan melakukan pemetaan di lapangan dan diskusi dengan beberapa pihak berkepentingan.
"Hasilnya, usia pengemudi rata-rata 40 - 55 tahun, surat ijin Mengemudi (SIM) yang dimiliki pengemudi belum sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikannya, pengemudi memperoleh SIM tanpa melalui Pendidikan dan Pelatihan/Diklat (tanpa Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP)," kata Djoko.
Ia menambahkan, "Penghasilan pengemudi sebulan rata-rata Rp 1 juta sampai dengan Rp 4 juta, masih di bawah upah minimal di daerah. Dulu, sopir truk masih bisa membayar kenek atau pembantu sopir dan terkadang bisa memiliki istri lebih dari satu. Sekarang, jangankan memiliki istri lagi, untuk memenuhi kehidupan keseharian rumah tangga dari pendapatan yang diperoleh sudah tidak mencukupi. Pendapatan yang diperoleh guna membayar kenek juga sudah tidak cukup."
Halaman Selanjutnya
"Pengumuman pelarangan beroperasi hendaknya diberlakukan 1 bulan sebelumnya. Agar para pengusaha angkutan sudah bisa menjadwalkan keberangkatan dan pulang kembali armada truknya. Masa pelarangan tidak perlu lama (tidak lebih dari 10 hari)," ujarnya, dikutip VIVA dari keterangan resmi.