Jakarta, VIVA – Dunia kerja terus mengalami perubahan, bukan hanya pada cara orang bekerja, tetapi juga bagaimana mereka mengekspresikan diri. Dua istilah yang sedang banyak diperbincangkan adalah quiet quitting dan quiet covering.
Keduanya sama-sama menggambarkan bentuk respons karyawan terhadap tekanan kerja, namun memiliki makna yang sangat berbeda.
Quiet quitting mulai populer sejak pandemi ketika banyak karyawan merasa jenuh dengan tuntutan kerja berlebihan. Mereka memilih untuk hanya fokus pada tanggung jawab inti, tanpa memberikan usaha ekstra yang sering kali tidak dihargai.
Sebaliknya, quiet covering muncul dari konteks sosial, yaitu saat individu merasa harus menyembunyikan identitas dirinya agar diterima di lingkungan kerja. Berikut penjelasan perbedaan antara quiet quitting dan quiet covering, seperti dirangkum dari Forbes, Sabtu, 27 September 2025.
Ilustrasi bermuka dua, topeng, masker
1. Definisi dan Esensi
Quiet quitting adalah kondisi ketika karyawan berhenti memberikan upaya ekstra dan hanya mengerjakan apa yang secara resmi menjadi tanggung jawab mereka. Fenomena ini sering dianggap sebagai bentuk protes diam terhadap ekspektasi kerja yang berlebihan.
Quiet covering, di sisi lain, adalah upaya karyawan untuk menutupi bagian dari identitas pribadi mereka, seperti keyakinan, orientasi seksual, atau gaya hidup, agar tidak mendapat stigma atau diskriminasi di lingkungan kerja.
2. Motif yang Mendorong
Motivasi di balik quiet quitting biasanya berasal dari keinginan untuk menjaga keseimbangan hidup, menghindari burnout, dan menolak pekerjaan tambahan tanpa penghargaan yang setimpal.
Sedangkan quiet covering lebih dipicu oleh rasa takut dan kekhawatiran sosial. Karyawan memilih untuk “bersembunyi” agar aman dari stereotip negatif atau perlakuan diskriminatif.
3. Dampak terhadap Karyawan
Quiet quitting sering membuat karyawan merasa terlepas dari pekerjaan mereka. Hubungan emosional dengan perusahaan melemah, dan motivasi menurun seiring waktu.
Quiet covering dapat menimbulkan tekanan psikologis yang besar. Menyembunyikan identitas diri membuat karyawan merasa tidak bisa menjadi diri sendiri, yang pada akhirnya meningkatkan stres dan mengurangi rasa aman secara emosional.
4. Dampak terhadap Perusahaan
Ketika banyak karyawan melakukan quiet quitting, produktivitas perusahaan dapat menurun. Inovasi berkurang karena karyawan hanya bekerja sesuai aturan minimum.
Jika quiet covering terjadi secara luas, perusahaan bisa kehilangan keberagaman ide dan kreativitas. Selain itu, budaya kerja yang tidak inklusif bisa merusak citra organisasi di mata publik.
5. Solusi yang Bisa Diterapkan
Menghadapi quiet quitting membutuhkan strategi manajemen yang adil, seperti memberikan apresiasi, menyeimbangkan beban kerja, dan memastikan keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.
Sementara untuk mengatasi quiet covering, perusahaan perlu membangun lingkungan kerja yang inklusif, meningkatkan kesadaran tentang keberagaman, serta menciptakan rasa aman agar karyawan tidak takut menjadi dirinya sendiri.
Meski sekilas terlihat mirip karena sama-sama “diam-diam”, quiet quitting dan quiet covering memiliki perbedaan mendasar. Yang pertama berkaitan dengan motivasi kerja, sedangkan yang kedua menyangkut identitas personal.
Dengan memahami perbedaan ini, Anda dapat lebih bijak dalam menilai situasi di tempat kerja sekaligus mendorong terciptanya lingkungan yang sehat dan produktif.
Halaman Selanjutnya
Motivasi di balik quiet quitting biasanya berasal dari keinginan untuk menjaga keseimbangan hidup, menghindari burnout, dan menolak pekerjaan tambahan tanpa penghargaan yang setimpal.

4 weeks ago
17









