Jakarta, VIVA - Tiga majelis hakim yang mengadili dan memutuskan lepas atau onslag perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau CPO, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diduga dapat suap mencapai hingga puluhan miliar.
"Bahwa ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut agar perkara tersebut diputus onslag dan pada tanggal 19 Maret 2025 perkara tersebut diputus onslag," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Senin, 14 April 2025.
Korps Adhyaksa merinci alur pembagian uang suap pada ketiganya. Awalnya, tersangka Wahyu Gunawan (WG) menerima permintaan pengacara Aryanto guna mengurus perkara minyak goreng itu. Aryanto menawarkan Rp 20 miliar supaya kasus divonis lepas atau onslag, kepada Wahyu Gunawan.
Hal ini lantas diberitahu ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN). Arif yang kala itu menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menyetujui tetapi minta uang mencapai Rp 60 miliar supaya sesuai keinginan Aryanto.
"Tersangka MAN menyetujui permintaan untuk diputus onslag namun meminta agar uang Rp 20.000.000.000 dua puluh miliar tersebut di kali 3 sehingga totalnya menjadi Rp 60 miliar," katanya.
Lalu, AR memberikan uang Rp 60 miliar pada Arif dalam bentuk dolar Amerika. Dari sana, Wahyu dapat USD 50.000 sebagai jasa penghubung. Selanjutnya, Arif mengatur hakim yang bakal mengurus perkara minyak goreng korporasi tersebut.
Dia menunjuk Ketua Majelis Hakim Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharudin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM) sebagai hakim anggota. Arif memanggil Djuyamto dan Agam supaya berkas perkara ini diatensi dengan fulus Rp 4,5 miliar.
"Uang Rp 4.500.000.000 tersebut dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh ASB, kemudian dibagi tiga kepada ASB, AL dan DJU," katanya.
Kemudian, Arif kembali menyerahkan uang Rp 18 miliar ke Djuyamto cs pada bulan September atau Oktober 2024. Uang ini dibagi tiga di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Selatan dengan perincian untuk Agam Rp 4,5 miliar, Ali Rp 5 miliar dan Djuyamto Rp 6 miliar. Sedangkan Djuyamto membagikan dari jatahnya itu sebesar Rp 300 juta untuk Wahyu Gunawan.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Agung menetapkan 3 anggota majelis hakim yang mengadili dan memutuskan lepas perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tersangka.
Salah satu hakim yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut adalah Hakim Djuyamto (DJU) yang pada saat itu merupakan Ketua Majelis Hakim.
“Tersangka DJU, yang bersangkutan adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan surat penetapan tersangka nomor 27 tanggal 13 April 2025, yang pada saat itu yang bersangkutan menjabat sebagai Ketua Majelis Hakim,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar dalam konferensi pers di Kejagung pada Senin dini hari, 14 April 2025.
Dua hakim lainnya yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut adalah Hakim Agam Syarif Baharudin dan Hakim Ali Muhtarom.
Qohar menyampaikan, bahwa penetapan tersangka pada 3 hakim itu berdasarkan alat bukti yang cukup dan juga pemeriksaan maraton terhadap 7 orang saksi. Termasuk diantaranya adalah ketiga hakim tersebut.
“Maka pada malam hari tadi sekitar pukul 11.30, tim penyidik telah menetapkan 3 orang sebagai tersangka dalam perkara ini,” tuturnya.
Pasal yang dipersangkakan terhadap ketiga hakim tersebut adalah Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2021 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Kejaksaan Agung (Kejagung) sebelumnya menetapkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), sebagai salah satu tersangka. MAN terseret kasus dugaan suap terkait putusan atau vonis lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar menjelaskan MAN terlibat dalam kasus tersebut saat menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
“MAN diduga telah menerima uang suap sebesar Rp 60 miliar dari tersangka MS dan AR selaku advokat untuk pengaturan putusan agar dijatuhkan ontslag,” kata Abdul dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu malam, 12 April 2025.
Menurut dia, uang itu diberikan melalui tersangka Wahyu Gunawan alias WG selaku Panitia Muda Perdata PN Jakarta Utara. Adapun WG disebutkan sebagai orang kepercayaan MAN.
Abdul menambahkan, Kejagung sedang mendalami kasus tersebut. Pendalaman kasus lebih lanjut dengan mencari tahu apakah uang yang diterima MAN mengalir ke pihak lain terutama kepada majelis hakim yang menjatuhkan putusan.
Adapun putusan tersebut dijatuhkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Selasa (19/4). Majelis hakim yang membacakan vonis itu hakim ketua Djuyamto bersama dengan hakim anggota yaitu Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin.
Abdul menuturkan para hakim yang menangani perkara saat ini sedang dijemput untuk diperiksa. Posisi salah satu hakim sedang berada di luar kota.
“Tim secara proaktif melakukan penjemputan terhadap yang bersangkutan,” jelas Abdul.
Atas perbuatannya, MAN dijerat Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf B jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Halaman Selanjutnya
"Uang Rp 4.500.000.000 tersebut dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh ASB, kemudian dibagi tiga kepada ASB, AL dan DJU," katanya.