Aceh, VIVA – Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate (FFR) hanya akan dipangkas satu kali pada tahun ini. Pemangkasan ini diperkirakan akan terjadi pada semester II-2025.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juli Budi Winantya dalam acara Pelatihan Wartawan BI di Aceh.
“Kita perkirakan ke depan Fed Fund Rate akan cut satu kali di 2025 yang dilakukan di semester II,” kata Juli Jumat, 7 Februari 2024.
Juli menjelaskan, keputusan the Fed dalam menunda penurunan suku bunga kebijakanya dipicu oleh beberapa faktor yang berpengaruh pada ketidakpastian pasar keuangan global.
Gubernur Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell.
Photo :
- Twitter.com/@federalreserve
Pertama, kuatnya ekonomi AS serta dampak kebijakan tarif oleh Presiden AS Donald Trump telah menahan disinflasi, yang menyebabkan inflasi AS akan semakin meningkat. Hal ini menyebabkan ekspektasi penurunan FFR yang lebih terbatas.
“Tarif ini tentunya akan membuat inflasi Amerika Serikat yang tadi dari sisi demand dan sisi permintaan juga akan semakin tinggi, dari sisi tarif juga akan membuat inflasi Amerika Serikat lebih tinggi,” jelasnya.
Kedua jelas Juli, adanya insentif pajak dari pemerintah AS untuk mendukung perekonomiannya, terutama di korporasi yang akan meningkatkan permintaan. Hal ini berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, namun bisa menyebabkan defisit meningkat.
Sehingga, kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik pada tenor jangka pendek maupun jangka panjang.
Gedung Bank Indonesia (tampak depan)
Photo :
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
“Tax ini implikasinya dua, karena dia mendorong pertumbuhan ekonomi, yang tentunya juga akan meningkatkan inflasi, tetapi di sisi lain karena dia memotong tax berarti defisitnya meningkat, yang berarti harus melakukan pembiayaan lebih besar. Jadi ini juga akan berpengaruh terhadap kenaikan yield USD karena kenaikan defisitnya,” jelasnya.
Lalu ada kebijakan terkait dengan tenaga kerja, sebab terdapat aturan baru yang akan melakukan deportasi atau pengetatan terhadap tenaga kerja ilegal di AS dan berujung pada peningkatan inflasi.
“Jadi di mana new administration ini akan melakukan deportasi atau ya pengetatan lah terhadap tenaga kerja ilegal. Yang ini dampaknya adalah pengetatan tenaga kerja di Amerika Serikat. Yang ini juga implikasinya adalah meningkatkan inflasi,” imbuhnya.
Halaman Selanjutnya
Kedua jelas Juli, adanya insentif pajak dari pemerintah AS untuk mendukung perekonomiannya, terutama di korporasi yang akan meningkatkan permintaan. Hal ini berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, namun bisa menyebabkan defisit meningkat.