Jakarta, VIVA – Logam tanah jarang (rare Earth) adalah elemen logam yang sangat berharga yang tidak hanya digunakan untuk memproduksi smartphone dan mobil listrik, tetapi juga senjata modern. Termasuk ke dalam aplikasinya, logam ini digunakan dalam konstruksi jet tempur dan kapal selam.
Selain itu, logam tanah jarang ditemukan dalam amunisi khusus dan kendaraan lapis baja, dalam sistem propulsi, dan teknologi sensor. Dibutuhkan lebih dari 400 kilogram logam tanah jarang untuk memproduksi satu pesawat siluman F-35 saja.
Sebagian besar logam tanah jarang yang diolah di Jerman berasal dari China, dan di sinilah letak masalahnya: Akibat perselisihan tarif dengan Amerika Serikat (AS), Beijing mengumumkan pada awal Oktober 2025 bahwa mereka akan kembali memperketat aturan ekspor yang sebelumnya sudah ketat.
China mengancam akan menghentikan ekspor logam tanah jarang yang dibutuhkan untuk keperluan militer. Selain itu, perusahaan yang mengajukan izin ekspor di China kini diharuskan menyerahkan informasi rinci, beberapa di antaranya bersifat rahasia. Bagi produsen senjata, tuntutan tersebut sama sekali tidak bisa diterima.
“Klausul penggunaan akhir, hambatan birokrasi yang tinggi, dan akses ke perencanaan pasokan pada dasarnya hanyalah spionase industri,” kata Jakob Kullik, ilmuwan politik di Universitas Teknologi Chemnitz, kepada DW.
Federasi Industri Jerman (BDI) juga bersikap kritis: “Aturan baru ini dapat dilihat sebagai serangan langsung terhadap program modernisasi militer Barat,” demikian pernyataan mereka.
Baru-baru ini, industri senjata Jerman telah meningkatkan produksi secara masif untuk melengkapi Angkatan Bersenjata Jerman, Bundeswehr, dengan sistem senjata modern.
Dukungan berkelanjutan terhadap Ukraina berupa pengiriman senjata juga menjadi alasan penguatan militer, yang kemungkinan akan menjadi duri dalam daging bagi sekutu Rusia, yaitu China. Bagaimana industri pertahanan Jerman merespons?
“Tidak ada kepanikan di industri,” kata Hans Christoph Atzpodien, CEO Asosiasi Industri Keamanan dan Pertahanan Jerman (BDSV), kepada DW. Dibandingkan dengan industri lain, Atzpodien menunjukkan bahwa industri pertahanan menggunakan “jumlah logam tanah jarang yang relatif kecil.”
Selain itu, perusahaan telah mengambil langkah antisipasi agar tidak perlu membatasi produksi dalam beberapa bulan mendatang. Namun, para ahli masih melihat risiko nyata terjadinya kekurangan pasokan. China menguasai sekitar 80 persen produksi global dan lebih dari 90 persen pengolahan logam tanah jarang.
Halaman Selanjutnya
“Saat situasi memuncak, pertanyaan besar adalah dari mana perusahaan pertahanan akan mendapatkan alternatif, dan kondisinya terlihat sangat suram,” tegas Kullik, yang mempelajari pentingnya bahan baku strategis untuk keamanan militer.

4 hours ago
1









