Jakarta, VIVA – Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra menyoroti sejumlah kasus kekerasan bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI. Seperti yang terbaru ada pembunuhan sales mobil oleh prajurit TNI AL Lhokseumawe, Kelasi Dua DI dan Penembakan 3 Polisi di Lampung oleh Oknum TNI AD.
Penembakan yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil bukan kali ini saja. Setidaknya sepanjang tahun 2024 sampai saat ini telah terjadi 10 kasus penembakan yang dilakukan oleh TNI. Penembakan ini mengakibatkan delapan (8) orang warga sipil tewas dan 12 orang terluka parah termasuk kasus penembakan di rest area tol Tangerang baru-baru ini.
VIVA Militer : Pasukan TNI sisir kelompok bersenjata OPM di Papua (ilustrasi)
Ardi menilai kasus penembakan yang terjadi dan terus berulang itu dikarenakan tidak adanya tindakan yang tegas dalam mengadili pelaku. Dalam catatan Imparsial, kata Ardi, setiap prajurit yang terlibat dalam tindak pidana umum selalu diproses dan diadili di peradilan militer.
“Kami memandang, peradilan militer cenderung menjadi sarang impunitas bagi prajurit TNI karena vonis yang diberikan tidak menimbulkan efek jera sehingga menyebabkan terus berulangnya kasus kekerasan dan penembakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh prajurit TNI,” kata Ardi, dalam keterangannya, Rabu, 19 Maret 2025.
Oleh karena itu, Imparsial mendorong agar prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum harus diproses melalui sistem peradilan umum. Hal ini merupakan amanat dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan TAP MPR No. VII tahun 2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat pertahanan dan keamanan negara.
“Namun hingga saat ini, TNI dan Pemerintah enggan untuk melakukan revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pemerintah justru berupaya melakukan perubahan terhadap Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, yang nyatanya bertentangan dengan semangat dan agenda Reformasi TNI,” kata Ardi.
Seharusnya, lanjut Ardi, peradilan militer hanya berwenang mengadili kejahatan/ tindak pidana militer saja, bukan tindak pidana/ kejahatan umum. Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” ujarnya
Ardi mengatakan, pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum. Tetapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.
“Kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk melakukan evaluasi total terhadap institusi TNI serta memperkuat pengawasan, baik pengawasan internal maupun eksternal terhadap institusi TNI,” kata Ardi.
Alih-alih memperluas kewenangan TNI melalui revisi UU TNI, Pemerintah dan DPR seharusnya fokus memperkuat pengawasan untuk memastikan reformasi TNI berjalan ke depan, memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakam hukum di institusi TNI.
“Revisi UU TNI seharusnya juga merevisi Pasal 74 yang menyebabkan terhambatnya proses reformasi peradilan militer saat ini,” pungkasnya
Halaman Selanjutnya
“Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” ujarnya