VIVA – Tidak semua orang lahir dengan keistimewaan. Aldo Rinaldy adalah salah satu contoh nyata bahwa latar belakang bukanlah penghalang untuk sukses, melainkan batu loncatan untuk membangun ketangguhan dan mental juara.
Lahir di Bekasi, Aldo merupakan putra dari seorang teknisi alat elektronik dan ibu rumah tangga. Kehidupan sederhana keluarga ini membentuk karakter pekerja keras dalam dirinya sejak dini.
“Born without privilege is a privilege,” ujar Aldo. “Bisa jadi saya tidak bekerja sekeras ini jika lahir dari keluarga kaya yang penuh privilege,” tambahnya. “Lahir di keluarga tanpa privilege memberikan banyak dorongan dan tekad — bangun jadi lebih pagi, kerja lebih lama, belajar lebih giat, mental jadi lebih tangguh. Dan semua itu privilege. Nggak semua orang punya, hahaha,” katanya sambil tertawa.
Membangun dari Nol
Perjalanan Aldo sebagai entrepreneur dimulai dengan berbagai pekerjaan sederhana. Ia pernah menjadi guru les privat, makelar cetak, penjual es kelapa, nasi kuning, reseller produk, hingga MC panggilan. Ia mencoba berbagai usaha kecil untuk bertahan hidup dan mencari tahu potensi dirinya. Perjalanannya menjadi pengusaha Lembaga Pendidikan dimulai pada tahun 2013. Ia menamakan lembaganya Golden English, nama yang diberikan oleh sang ibu.
“Kami berdiri tahun 2013, diberi nama Golden English. Ibu saya yang berikan nama. Kata beliau, apapun yang terbuat dari emas pasti berharga dan bernilai,” jelas Aldo.
Di tengah keterbatasan ekonomi, ia menyulap kontrakan tempat tinggalnya yang hanya berukuran 3x4 meter menjadi sebuah ruang kelas kecil. Di situlah ia memulai kursus bahasa Inggris pertamanya, dengan modal minim dan hampir tanpa murid.
“Dua tahun pertama adalah masa paling sulit,” kenangnya. “Pernah kefikiran untuk tutup aja, karena difikir-fikir margin-nya tipis bahkan kadang nombok. Mendingan kerja sambil ngajar-ngajar freelance, udah jelas.”
Tantangan berat itu tidak membuatnya menyerah. Dukungan dari sang ibu menjadi penyemangat utamanya. Ibu Aldo mendorongnya untuk terus berjuang dan percaya pada mimpinya. Dari YouTube dan sumber online lainnya, Aldo belajar banyak hal — mulai dari manajemen bisnis, pemasaran, teknik negosiasi, hingga pembuatan proposal kerja sama.
Berkembangnya Golden English
Tahun 2015 menjadi tonggak penting. Di usia 21 tahun, kursus bahasa Inggris yang ia rintis mulai mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Golden English mengusung tagline "Now Everyone Can Speak English" — sebuah pernyataan yang menggambarkan visinya: akses pendidikan berkualitas harus bisa dirasakan oleh semua kalangan.
Ia memutar kembali seluruh keuntungan bisnis untuk membangun fasilitas, merekrut tim pengajar profesional, mendatangkan native speaker, dan merancang kurikulum yang sesuai kebutuhan murid. Dalam waktu singkat, Golden English berkembang pesat dan membuka beberapa cabang baru.
Kehilangan Terbesar dan Kebangkitan Kembali
Namun perjalanan tidak selalu mulus. Tahun 2017 menjadi masa paling berat dalam hidup Aldo. Ibunya — sosok yang selalu mendampingi sejak awal — meninggal dunia.
“Berat. Ibu adalah satu-satunya support system terbaik. Membersamai tidak hanya melalui guidance, namun juga doa. Jujur ini kondisi paling berat, pulihnya lama sekali. Ada perasaan seperti setengah energi hilang. Di setiap sudut rumah, kantor, bahkan kelas ada sentuhan ibu, ada doanya juga di sana,” tutur Aldo dengan lirih.
Dalam duka yang mendalam, Aldo sadar bahwa keterpurukan tidak akan membawa perubahan. Ia bangkit. Ia tidak hanya ingin mempertahankan Golden English, tetapi juga ingin menjadikannya lebih besar dan berdampak lebih luas.
Dari Lokal ke Korporasi
Tahun-tahun berikutnya membuktikan ketangguhannya. Golden English mulai dipercaya oleh perusahaan-perusahaan besar untuk program in-house training, termasuk klien dari luar negeri. Beberapa artis papan atas pun menjadi bagian dari pengguna layanan Golden English, salah satunya Prilly Latuconsina.
Lembaga ini semakin tumbuh menjadi salah satu institusi pelatihan bahasa Inggris yang diperhitungkan secara nasional.
Menjawab Tantangan Pandemi
Pandemi COVID-19 membawa tantangan baru. Dengan 9 cabang yang mayoritas beroperasi secara offline, pendapatan Golden English sempat turun drastis hingga 70%. Namun lagi-lagi, Aldo menjawab tantangan dengan inovasi.
“Karena produk utama kita adalah kelas offline, sehingga saat COVID datang kita sangat terdampak,” jelasnya.
Alih-alih menyerah, ia melihat peluang dalam krisis. Ia dan tim mengembangkan berbagai platform digital, seperti Golden English Apps (GEA), sistem ERP terpadu yang membantu siswa mengakses informasi akademik, jadwal, dan kemajuan belajar. Selain itu, ia memperkuat layanan Golden Online Class (GOC), satu-satunya produk yang tetap bisa dijual selama pandemi.
“Menariknya, setelah COVID berlalu, GOC justru menjadi program best seller dengan peminat tertinggi,” ungkap Aldo.
Hal lain yang menarik adalah keputusan dimana Golden English tidak merumahkan satu orang karyawan pun, bahkan THR diberikan utuh dan tepat waktu, meskipun di saat bersamaan banyak Perusahaan melakukan efisiensi dengan merumahkan karyawan.
Tumbuh Organik, Berdampak Besar
Yang membedakan Aldo dari banyak pengusaha lain adalah cara ia membangun bisnisnya. Tanpa pinjaman bank atau investor, ia mengandalkan keuntungan usaha untuk terus tumbuh.
“Golden English benar-benar tumbuh secara organik. Tidak ada modal bank, tidak ada suntikan dana investor. Semuanya diputar dari keuntungan usaha,” jelasnya.
Saat ini, Golden English memiliki 13 cabang, mempekerjakan hampir 250 orang, dan telah melayani lebih dari 200.000 siswa serta peserta tes bahasa Inggris dari seluruh Indonesia.
Penutup: Inspirasi bagi Calon Pengusaha
Kisah Aldo Rinaldy adalah gambaran nyata bahwa keberanian, konsistensi, dan inovasi bisa mengubah hidup. Dari kontrakan kecil tanpa modal, ia membangun perusahaan edukasi nasional yang berdampak besar.
Bagi Anda yang sedang memulai bisnis dari nol, pelajaran dari Aldo adalah: tidak ada sukses yang instan. Tapi dengan tekad kuat, belajar terus-menerus, dan keberanian untuk bangkit dari kegagalan, semua kemungkinan bisa terbuka untuk siapapun. 1 hal yang tidak boleh dilupakan, sukses tidak pernah mensyaratkan privilege.
Halaman Selanjutnya
“Dua tahun pertama adalah masa paling sulit,” kenangnya. “Pernah kefikiran untuk tutup aja, karena difikir-fikir margin-nya tipis bahkan kadang nombok. Mendingan kerja sambil ngajar-ngajar freelance, udah jelas.”