Mahasiswa Unram Resmi Gugat UU Pilkada ke MK, Ini Alasannya!

4 hours ago 2

Jumat, 11 Juli 2025 - 07:10 WIB

Mataram, VIVA - Mahasiswa dan alumni Universitas Mataram (Unram), Nusa Tenggara Barat menggugat Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada tiga pemohon yang mengajukan gugatan tersebut.

Sidang pendahuluan perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025 tentang Permohonan Pengujian Materiil Pasal 139 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Permohonan di lakukan oleh dua orang alumni dan mahasiswa FHISIP Universitas Mataram dari unit kegiatan Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi (Formasi). Para pemohon atas nama Yusron Ashalirrohman (Pemohon I), Roby Nurdiansyah (Pemohon II), Yudi Pratama Putra (Pemohon III), Muhammad Khairi Muslimin (Pemohon IV).

Sidang pendahuluan dihadiri secara luring oleh Pemohon I dan Pemohon II. Sedangkan Pemohon III dan Pemohon IV secara daring melalui zoom (daring).

Adapun sidang digelar di lantai 4 Gedung 2 MK. Majelis Panel Hakim Konstitusi 3 orang yakni, Ketua Majelis Panel Saldi Isra, Ridwan Mansyur, (Anggota Majelis Panel), dan Arsul Sani (Anggota Majelis Panel).

Sidang pendahuluan ini dilaksanakan dengan berjalan lancar. Lalu, di akhir hakim panel MK beri masukan dan saran dalam rangka penyempurnaan permohonan.

Dalam permohonan ini, pemohon menguji tentang rekomendasi sebagai hasil kajian Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada. Menurut para pemohon, rekomendasi memiliki sifat berbeda dengan putusan sebagai hasil kajian, perbedaan yakni rekomendasi tidak mengikat secara hukum.

Lalu, tak memiliki kekuatan eksekutorial dan daya paksa sehingga KPU sebagai rekomendasi seringkali tak menjalankan isi dari rekomendasi Bawaslu. Kemudian, ini jadi persoalan dalam setiap Pilkada, mulai dari tahun 2018, 2020, dan 2024.

Berbeda dengan UU Pemilu yang memberikan kewenangan penuh kepada Bawaslu untuk memutus pelanggaran administrasi (Pasal 461 UU Pemilu), UU Pilkada justru mereduksi peran Bawaslu menjadi hanya pemberi rekomendasi, sementara keputusan akhir berada di tangan KPU.

Perbedaan ekstrem ini dinilai jauh dari semangat putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang menyamakan kedudukan pengawas pemilu dan pilkada. Kewenangan Bawaslu dalam pemilu semestinya berlaku secara mutatis mutandis pada pilkada.

Para pemohon berharap MK sebagai 'the guardian of democracy' bisa mengembalikan kewenangan Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada sebagaimana mestinya. Dengan demikian, bisa menjamin kepastian hukum dan keadilan proses pemilihan kepala daerah ke depan. (Ant)

Halaman Selanjutnya

Dalam permohonan ini, pemohon menguji tentang rekomendasi sebagai hasil kajian Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada. Menurut para pemohon, rekomendasi memiliki sifat berbeda dengan putusan sebagai hasil kajian, perbedaan yakni rekomendasi tidak mengikat secara hukum.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |