Ketapang, VIVA – Konflik agraria kembali mencuat di Kabupaten Ketapang. Warga dari Desa Pelanjau Jaya, Desa Suka Karya, dan Desa Teluk Bayur menyampaikan pernyataan sikap serta tuntutan tegas kepada perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di wilayah mereka. Aksi ini menjadi puncak dari penantian panjang masyarakat yang merasa hak-haknya diabaikan selama puluhan tahun.
Saat ditemui, masyarakat Ketapang memohon perhatian langsung Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, beserta jajaran pemerintah pusat, untuk menindak tegas praktik perusahaan yang telah merugikan rakyat lebih dari tiga dekade.
Sekretaris DPD ARUN Kalbar, Muhammad Jimi Rizaldi menegaskan perjuangan rakyat tiga desa ini adalah perjuangan nyata.
"Mereka mempertaruhkan jiwa dan raga demi merebut kembali hak-haknya. Pemerintah harus mendukung perjuangan rakyat karena hak-hak mereka sudah dijamin oleh undang-undang," kata Jimi.
Perwakilan PT BAL anak perusahaan PT Minamas Group menerima tuntutan warga
Sekretaris Jenderal DPP ARUN, Bungas T. Fernando Duling saat menemui warga desa menyerukan pentingnya menjaga persatuan masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
"Tapi, masyarakat tetap harus menghormati hukum selama proses pendudukan lahan berlangsung," kata Bungas.
Ia juga menekankan bahwa Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi semangat perjuangan bersama.
Konflik agraria di Ketapang ini kembali menyoroti persoalan klasik antara masyarakat adat dan korporasi besar, dan sudah berlangsung selama 28 tahun. Suara masyarakat yang sudah puluhan tahun terpinggirkan kini menggema, menuntut keadilan dan kepastian hukum.
Masyarakat Desa Pelanjau Jaya dan Desa Suka Karya menyatakan bahwa sejak 1997, tanah ulayat mereka telah dikuasai dan dieksploitasi oleh perusahaan di bawah Minamas Group, yaitu PT Budidaya Agro Lestari dan PT Sandika Nata Palma, tanpa ganti rugi yang layak.
Disampaikan oleh para warga, di Desa Pelanjau Jaya terdapat lahan di luar HGU seluas 2.117,97 hektare dikuasai perusahaan tanpa pembebasan; di Desa Suka Karya ada lahan ulayat seluas 1.458,09 hektare serta sekitar 4.000 hektare di dalam HGU Lembiru Estate, yang berada di Dusun Batu Manang dan Dusun Awatan, tidak pernah diganti rugi.
Selain itu, masyarakat menduga adanya manipulasi program plasma. Koperasi yang dijanjikan hingga kini masih sepenuhnya dikelola manajemen Minamas Group, sehingga masyarakat tidak pernah benar-benar merasakan manfaatnya.
Selama aksi pendudukan lahan yang berlangsung 14 hari terakhir, perusahaan tetap melakukan panen dengan pengawalan oknum aparat, yang dinilai masyarakat sebagai bentuk intimidasi.
Warga menyatakan, pemerintah bisa membantu mereka untuk memenuhi tuntutan yang mereka ajukkan, yakni pertama, pengembalian lahan ulayat Desa Pelanjau Jaya seluas 2.117,97 ha di Beturus Estate, Pelanjau Estate, dan Binjai Estate. Kedua, pengembalian hak Desa Suka Karya atas 5.458 ha lahan ulayat baik di luar maupun di dalam HGU yang berada di Lembiru Estate, Karya Palma Estate, dan Sungai Putih Estate. Ketiga, penghentian seluruh aktivitas perusahaan di dalam maupun luar HGU yang menjadi objek sengketa.
Keempat, pemberian ganti rugi atas kerugian yang dialami masyarakat sejak 1997 hingga 2025, termasuk tanaman tumbuh dan hasil panen, dan kelima, ultimatum 3 x 24 jam kepada PT Budidaya Agro Lestari dan PT Sandika Nata Palma untuk merespons tuntutan masyarakat. Jika tidak, warga akan menurunkan buah sawit dari lokasi sengketa dan menyebarkannya di jalan raya sebagai bentuk protes.
Pada saat yang sama, masyarakat Desa Teluk Bayur, Kecamatan Sungai Laur, juga menyerahkan Surat Pernyataan Sikap kepada PT Prakarsa Tani Sejati (PTS).
Warga menegaskan bahwa sejak perusahaan masuk, mereka tidak pernah menyerahkan lahan kepada PT PTS. Karena itu, seluruh aktivitas perusahaan dianggap ilegal baik menurut hukum adat maupun hukum positif.
Warga Desa Teluk Bayur pun menuntut pengembalian seluruh tanah adat yang saat ini dikuasai PT PTS dan pemberian ganti rugi atas lahan yang digunakan tanpa izin.
Jika dalam 3 x 24 jam perusahaan tidak memberi tanggapan, masyarakat berkomitmen melanjutkan pendudukan lahan hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Pengurus Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN), Junaidi Desa Teluk Bayur, menegaskan bahwa perjuangan warga bukanlah penolakan terhadap investasi, melainkan penegakan hak.
“Masyarakat tidak menolak investasi, tetapi hak-hak mereka harus dihormati. Perusahaan wajib menghormati tanah ulayat,” ujarnya.
Suarmin Boyo, Kepala Desa Teluk Bayur, menambahkan, jika sejak awal tidak ada penyerahan lahan, maka perusahaan wajib mengembalikan hak masyarakat.
"Kami mendukung penuh perjuangan warga dan meminta pemerintah pusat, khususnya Presiden RI, untuk turun tangan menyelesaikan persoalan ini," kata Suarmin.
Dukungan juga datang dari DPD ARUN Kalbar. Bendahara Umum, Bunda Rini, menegaskan bahwa perjuangan warga Teluk Bayur mencerminkan pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
“Perusahaan harus paham bahwa rakyat bukan penghalang pembangunan, melainkan bagian penting yang haknya wajib dilindungi,” tegasnya.
Para perusahaan yang menerima pernyataan sikap, hingga hari ini belum memberikan pernyataan atas tuntutan yang disampaikan warga.
Halaman Selanjutnya
Ia juga menekankan bahwa Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi semangat perjuangan bersama.

4 weeks ago
17









