New York, VIVA – Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak asasi manusia (HAM) dan kontra terorisme, Profesor Ben Saul menegaskan PB sebagai lembaga yang memiliki legitimasi internasional untuk mengawasi rencana masa depan Jalur Gaza, wilayah Palestina yang masih terkepung.
Pernyataan itu menjawab pertanyaan di National Press Club of Australia terkait kenegaraan Palestina dan rencana gencatan senjata Presiden AS Donald Trump untuk Gaza.
Dalam rencana itu, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair akan memegang peran penting.
Namun, Saul mengkritik rekam jejak Blair yang sebelumnya terlibat dalam proses Quartet, forum yang dibentuk tahun 2002 oleh Uni Eropa, Rusia, PBB, dan Amerika Serikat untuk memfasilitasi perdamaian di Timur Tengah, namun dinilai gagal membawa hasil.
VIVA Militer: Situasi di Jalur Gaza, Palestina
"Jika ingin pengawasan internasional yang sah terhadap masa depan Gaza, gunakan PBB. Itulah fungsi yang seharusnya dijalankan sejak awal," ujarnya.
Ia juga menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap sikap Australia atas perang Israel di Gaza.
Menurut dia, pengakuan resmi Australia terhadap Palestina baru terwujud bulan lalu setelah 100 ribu warga berunjuk rasa di Jembatan Sydney Harbour dan menekan para politisi agar bersikap tegas.
Bulan lalu, pada Sidang Umum PBB ke-80, Australia mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
PBB memiliki "legitimasi karena melibatkan semua pihak, dan tidak bergantung pada kehendak Donald Trump, seperti halnya dewan tersebut," ujarnya.
Rencana Trump berisi 20 poin yang diumumkan di Gedung Putih bersama pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu. Isinya mencakup penghentian permusuhan, pembebasan sandera, serta pembentukan otoritas transisi untuk mengelola Gaza.
Rencana itu menekankan pembentukan “komite teknokrat Palestina non-politis” yang diawasi lembaga baru bernama Board of Peace (Dewan Perdamaian), dipimpin langsung Trump dengan melibatkan tokoh internasional termasuk Blair.
Menurut Saul, legitimasi PBB terletak pada keterlibatan semua negara anggota, berbeda dengan rencana Trump yang dianggap bergantung pada kehendak pribadi.
Sementara itu, Pakar hukum HAM internasional asal Australia, Chris Sidoti, menyebut perang Israel di Gaza sebagai konflik yang paling berbeda dari konflik lainnya karena warga Palestina di wilayah itu tidak memiliki jalur untuk melarikan diri.
Ia menyoroti bahwa sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 66 ribu warga Gaza, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Kondisi itu, menurut Sidoti, berbeda dengan perang di Ukraina atau konflik Sudan, di mana warga sipil masih bisa menyeberang perbatasan untuk menyelamatkan diri.
“Di Gaza, dua juta orang terjebak di wilayah yang luasnya hanya separuh Canberra. Mereka tidak bisa lari dari serangan udara, kelaparan, kekurangan obat-obatan, akses rumah sakit, hingga pendidikan anak-anak. Itu membuat situasi ini benar-benar berbeda,” ujarnya.
Sidoti menegaskan sejak hari pertama, Israel menjalankan operasi penghancuran total terhadap Gaza, sehingga jutaan warga sipil hidup dalam kondisi terperangkap tanpa jalan keluar.
Sebelumnya, mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, ditunjuk untuk memimpin pemerintahan sementara di Jalur Gaza. Tony Blair ditugaskan mengawasi pembangunan kembali setelah perang.
Ia diusulkan untuk memimpin dewan pengawas yang disebut Otoritas Transisi Internasional Gaza menuju perdamaian. Pemerintahan transisi akan memerintah Gaza selama beberapa tahun hingga dapat diserahkan kepada Otoritas Palestina.
Rencana tersebut tidak membahas soal relokasi warga Palestina, sesuatu yang menjadi garis merah bagi banyak pihak dalam negosiasi.
Halaman Selanjutnya
Menurut dia, pengakuan resmi Australia terhadap Palestina baru terwujud bulan lalu setelah 100 ribu warga berunjuk rasa di Jembatan Sydney Harbour dan menekan para politisi agar bersikap tegas.

3 weeks ago
17









