Pengamat Nilai Reposisi Kelembagaan Perkuat Urgensi Reformasi Polri

1 day ago 2

Jakarta, VIVA – Reformasi Polri dinilai harus dilakukan dengan kontrol kelembagaan dan pembatasan kewenangan mutlak. Hal ini dianggap dapat mencegah terjadinya abuse of power dalam sektor pengakan hukum. Salah satu caranya adalah dengan menempatkan Polri di bawah salah satu kementerian sipil, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum.

Peneliti Prolog Initiatives, Rahman Azhar, menilai saat ini Polri berada di persimpangan krusial dalam sejarah reformasinya. Gelombang kritik tajam dari masyarakat, akademisi, dan lembaga negara atas berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power oleh anggota maupun struktur institusional Polri menjadi gambaran atas krusialnya reformasi Polri yang saat ini sedang dilakukan. 

Rahman memandang urgensi merombak total tata kelola lembaga Polri perlu dilakukan untuk memastikan reformasi di Korps Bhayangkara tersebut berjalan dengan baik. Beberapa kasus menonjol bahkan disebutnya menjadi indikator kegagalan sistemik Reformasi Polri. Pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo, keterlibatan Irjen Teddy Minahasa dalam sindikat narkoba, dan intimidasi terhadap jaksa dalam kasus timah senilai Rp 271 triliun disebutkan sebagai beberapa contoh indikator kegagalan sistemik.

Terancamnya reformasi Polri saat ini, dikatakan Rahman, disebabkan sejumlah faktor, salah satunya keberadaan Polri yang saat ini berada langsung di bawah Presiden. Hal ini menjadikan Polri bebas dari kendali institusi kementerian dan membuka ruang luas bagi abuse of power.

"Masalahnya bukan sekadar perilaku oknum, tetapi lebih pada desain kelembagaan yang cacat secara prinsip tata kelola demokratis. Ketika sebuah institusi yang memiliki senjata, kewenangan penindakan hukum, dan kekuasaan koersif tidak dikontrol oleh institusi sipil yang membentuk kebijakan, maka hasilnya adalah lembaga dengan potensi hegemoni kekuasaan dan resistensi terhadap akuntabilitas," terang Rahman, Jumat, 30 Mei 2025.

Rahman turut menyoroti perluasan kewenangan diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang berpotensi menggerus fungsi kelembagaan lain, antara lain Kejaksaan, TNI, Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Perluasan kewenangan itu dikhawatirkannya menjadikan  Polri sebagai lembaga yang terlalu kuat secara politik, operasional, dan administratif, tanpa pengawasan institusional yang efektif sebagaimana yang berlaku dalam desain negara demokratis modern.

Lebih jauh Rahman berpendapat fakta bahwa sekitar 488 perwira aktif Polri menjabat di kementerian dan lembaga negara lain adalah alarm bahaya tentang terjadinya ekspansi politik dan birokratis Polri ke seluruh sektor pemerintahan. 

"Di saat yang sama, draf RUU Polri yang sedang dibahas di DPR mengindikasikan keinginan institusi ini untuk memperluas mandatnya ke wilayah-wilayah strategis yang selama ini menjadi kewenangan lembaga lain. Jika tidak dikontrol, Polri akan bertransformasi menjadi entitas superbody yang menyatukan kekuasaan intelijen, penegakan hukum, keamanan nasional, dan otoritas politik," tegasnya.

Dirinya mengingatkan, secara fundamental perluasan mandat itu bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis. Selain itu, peran Polri juga perlu didefinisikan secara lebih terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UUD 1945, yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Sementara tugas penegakan hukum bukan hanya domain Polri, tetapi juga Kejaksaan, KPK, Imigrasi, Bea Cukai, TNI, hingga Bakamla. 

"Pembagian wewenang penegakan hukum ini penting agar tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kekuasaan absolut yang nantinya sulit terkontrol," kata Rahman.

Lebih jauh, Rahman mengungkap secara historis dan sosiologis pendidikan dasar Polri bersumber dari model pendidikan militer. Baik di Akademi Kepolisian maupun pendidikan lanjutan Polri, diterapkan sistem kedisiplinan tinggi, struktur komando, dan internalisasi kebanggaan korps.

"Hal ini secara psikologis membentuk watak kelembagaan yang tertutup, loyal secara vertikal, dan cenderung resisten terhadap kritik dari luar. Kombinasi antara kekuatan koersif, pendidikan militeristik, dan tidak adanya kontrol sipil yang fungsional menjadikan Polri sebagai lembaga dengan potensi laten untuk berlaku otoriter. Terutama, dalam situasi politik yang tidak stabil," ujarnya.

Dirinya menambahkan dalam sistem negara demokrasi modern, tidak ada satu institusi yang boleh memiliki kekuasaan tanpa pengawasan.

"Karena itu, reformasi Polri harus diarahkan pada perubahan struktur kelembagaan. Caranya, dengan menempatkan Polri di bawah salah satu kementerian sipil, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum," tegasnya.

Dalam model tersebut, kementerian bertugas menyusun kebijakan strategis, menyelaraskan fungsi antarlembaga, dan mengawasi jalannya organisasi. Sementara Polri bertindak sebagai pelaksana teknis dan operasional dari kebijakan negara.

"Model ini sudah berlaku di banyak negara demokrasi maju seperti Jerman, Jepang, Australia, dan Prancis. Di negara-negara tersebut institusi kepolisian menjadi bagian dari struktur kementerian dan tidak berdiri sebagai lembaga independen yang menyusun dan menjalankan kebijakannya sendiri," kata Rahman.

"Pengalaman negara-negara tersebut membuktikan bahwa kontrol sipil atas institusi koersif bukanlah bentuk pelemahan, melainkan upaya untuk memperkuat akuntabilitas dan legitimasi publik," imbuhnya.

Untuk mewujudkan reformasi Polri, Prolog Initiatives menyampaikan empat rekomendasi. Rekomendasi pertama yaitu penempatan struktur Polri di bawah kementerian sipil, seperti Kemendagri atau Kemenkum demi menjamin akuntabilitas dan pengawasan demokratis. Sementara rekomendasi kedua, kewenangan Polri harus difokuskan pada keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan seluruh penegakan hukum, sebagaimana amanat Pasal 30 UUD 1945. 

"Ketiga, pembagian fungsi penegakan hukum perlu diperkuat dan ditegaskan antarlembaga, agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan dalam satu institusi. Rekomendasi keempat, RUU Polri perlu dikritisi secara ketat oleh publik dan DPR RI, agar tidak memberikan kewenangan berlebih yang melampaui prinsip-prinsip checks and balances dalam demokrasi," terangnya.

Menurutnya, jika reformasi struktural ini tidak segera diwujudkan, risiko institusionalisasi abuse of power akan terus membayangi bangsa ini sampai kapan pun.

"Membangun demokrasi yang sehat hanya mungkin terjadi bila kekuasaan, termasuk yang bersenjata, tunduk pada otoritas sipil dalam sistem yang transparan, akuntabel, dan berbasis hukum," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya

Dirinya mengingatkan, secara fundamental perluasan mandat itu bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis. Selain itu, peran Polri juga perlu didefinisikan secara lebih terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UUD 1945, yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Sementara tugas penegakan hukum bukan hanya domain Polri, tetapi juga Kejaksaan, KPK, Imigrasi, Bea Cukai, TNI, hingga Bakamla. 

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |