Jakarta, VIVA – Mahkamah Konstitusi (MK) tak mempersoalkan kritik terhadap putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dengan pemilu daerah. Lembaga yudikatif itu kini hanya menunggu tindaklanjut dari DPR.
"Putusan MK kan sudah diucapkan, kami tinggal menunggu kewenangan DPR untuk menindaklanjuti. Kami tunggu. Karena DPR juga punya kewenangan," ucap Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK Heru Setiawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.
Heru enggan membeberkan lebih lanjut terkait polemik putusan MK tersebut. Ia hanya menegaskan lembaganya meminta usulan tambahan anggaran kepada Komisi III DPR RI.
"Mendukung semua tadi. Karena ini rapat anggaran tentu nggak ada kaitan," jelasnya.
Sebagai informasi, sejumlah partai politik (parpol) memberikan kritik terhadap putusan MK terkait pemisahan pemilu. Salah satu kritik datang dari partai Nasdem.
Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya mengatakan polemik putusan MK itu perlu original intent atau penafsiran resmi dari MPR RI.
"Kami akan melakukan mendorong MPR memberikan original intent dari apa yang sudah diputuskan oleh MK ini. Kenapa? Yang pembuat Undang-Undang Dasar itu adalah MPR. Dan, kami Nasdem sedang mendorong MPR untuk memberikan original intent," kata Willy kepada wartawan, Senin, 7 Juli 2025.
Dia bilang putusan tersebut bisa menyebabkan deadlock atau kebuntuan konstitusi. Ia merujuk Pasal 18 dan Pasal 22E UUD 1945 yang selama ini menjadi dasar bagi pelaksanaan Pemilu.
"Jangan kemudian kita terjadi deadlock penafsiran terhadap apa yang sudah diputuskan oleh MK ini," lanjut Willy.
"Pasal 18 dan pasal 23. Itu kita minta MPR memberikan original intentnya, karena mereka yang merumuskan undang-undang dasar," kata Willy.
Lebih lanjut, dia menambahkan tanpa penafsiran dari MPR sebagai lembaga perumus konstitusi, putusan MK berisiko menimbulkan tafsir baru yang seolah menggantikan kedudukan UUD.
"Jangan kemudian gini quote and quote, MK membuat Undang-Undang Dasar baru. Ini yang kita tidak inginkan," ujarnya.
Willy menekankan, demokrasi membutuhkan kepastian hukum. Dalam konteks ini, yang harus dilihat jangan sampai puluhan orang menggugat ke MK, sementara MPR merepresentasikan sekian juta masyarakat.
Dia menyayangkan apabila arah hukum tata negara ditentukan oleh sebagian kecil pihak melalui uji materi di MK.
"Demokrasi membutuhkan kepastian hukum. Nah konteks ini kemudian yang harus kita lihat bahwasannya jangan kemudian puluhan orang menggugat. Sementara MPR itu enam ratus sekian, tujuh ratusan, itu kemudian merepresentasikan berapa juta orang," tutur Willy.
Halaman Selanjutnya
"Jangan kemudian kita terjadi deadlock penafsiran terhadap apa yang sudah diputuskan oleh MK ini," lanjut Willy.