Waduh! Gen Z Disebut 'Tak Layak Kerja', Minimnya Skill Ini Jadi Sorotan 

3 weeks ago 13

Jumat, 3 Oktober 2025 - 14:30 WIB

Jakarta, VIVA – Generasi Z kembali menjadi sorotan setelah muncul kritik tajam mengenai kesiapan mereka di dunia kerja. Suzy Welch, profesor NYU, menyebut Gen Z "tidak layak kerja". Mengapa?

Fenomena ini terjadi di tengah pasar kerja yang makin kompetitif. Otomatisasi berbasis kecerdasan buatan mempercepat hilangnya pekerjaan rutin, sehingga keterampilan manusia seperti komunikasi, empati, dan kemampuan menyelesaikan konflik semakin bernilai. 

Namun, banyak pengusaha menilai Gen Z justru lemah di area tersebut. Akibatnya, perusahaan hingga universitas merasa perlu turun tangan memberikan pelatihan tambahan agar lulusan muda lebih siap.

Dalam artikelnya di Wall Street Journal, Welch menulis bahwa nilai utama yang dihargai manajer rekrutmen, yakni prestasi, pembelajaran, dan semangat kerja, hanya menjadi prioritas sekitar 2% mahasiswa Gen Z. 

Sebagian besar lebih mengutamakan perawatan diri, originalitas, dan membantu orang lain. Ketidaksesuaian ini membuat banyak lulusan muda dianggap kurang siap beradaptasi dengan standar profesional. 

Ilustrasi: Kuliah dan kerja part time

Survei pemimpin bisnis pada 2024 menunjukkan satu dari enam eksekutif enggan merekrut lulusan baru, dan tiga perempat menyebut kualitas rekrutan tidak memuaskan.

Beberapa pemimpin organisasi memilih untuk bertindak. Rebecca Adams, Chief People Officer Cohesity, startup AI senilai US$1,5 miliar atau setara Rp24,9 triliun, mengirim semua manajernya mengikuti pelatihan cara berinteraksi dengan Gen Z. 

Adams, yang juga ibu dari dua anak Gen Z, melihat banyak pekerja muda kesulitan dengan hal-hal dasar seperti etika rapat atau manajemen kalender. Ia juga bercerita tentang seorang intern berprestasi yang menolak tawaran kerja penuh waktu demi mengambil cuti setahun untuk berlibur. “Kalau saya jadi ibunya, saya pasti bilang, ambil pekerjaan itu, jalan-jalan nanti saja,” ujar Adams, seperti dikutip dari Fortune, Jumat, 3 Oktober 2025.

Menurutnya, generasi ini memiliki pandangan berbeda, sehingga kedua belah pihak perlu belajar untuk bisa bekerja sama. Di sisi lain, Liz Feld, CEO Radical Hope, mengembangkan program di 75 kampus untuk mengajarkan komunikasi, empati, manajemen stres, hingga resolusi konflik. 

“Orang tua mereka terlalu banyak membuat keputusan, sehingga ketika masuk kampus, mereka tidak siap melakukan hal-hal paling sederhana,” kata Feld. 

Ia menambahkan, banyak Gen Z bahkan takut melakukan small talk karena menganggap penolakan dalam percakapan sebagai kegagalan pribadi. Fenomena lain yang ia kritik adalah orang tua yang ikut hadir dalam wawancara kerja anak mereka. 

“Ada orang tua yang berpikir wajar menemani anaknya wawancara (kerja),” kata Feld. Ia menilai tekanan ini membuat anak muda merasa harus selalu tampil sempurna di hadapan orang tua.

Meski penuh kritik, baik Adams maupun Feld melihat sisi positif. Banyak anak muda sebenarnya ingin belajar keterampilan komunikasi langsung, hanya saja mereka belum pernah mendapatkannya. 

“Mereka ingin punya interaksi tatap muka, hanya saja itu adalah keterampilan yang tidak mereka pelajari, dan sekarang mereka ingin mempelajarinya,” ujar Feld.

Perubahan budaya kerja membuat perusahaan kini tidak hanya mengajarkan teknis, tetapi juga etika profesional dasar. Dari cara menghadiri rapat, mengatur jadwal, hingga sekadar mengucapkan terima kasih, semua kembali menjadi materi pembelajaran. 

Langkah tersebut dipandang penting agar Gen Z dapat berkembang sekaligus memberi peluang bagi dunia kerja untuk menyerap potensi mereka secara optimal.

Halaman Selanjutnya

Beberapa pemimpin organisasi memilih untuk bertindak. Rebecca Adams, Chief People Officer Cohesity, startup AI senilai US$1,5 miliar atau setara Rp24,9 triliun, mengirim semua manajernya mengikuti pelatihan cara berinteraksi dengan Gen Z. 

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |