DPR: Pemerintah Harus Lakukan Ini untuk Hadapi Tarif Trump

11 hours ago 3

Jakarta, VIVA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah mengatakan pengenaan tarif oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dapat membahayakan masa depan perekonomian global.

Said menanggapi surat Presiden Trump dikirim kepada Presiden Prabowo Subianto, yang memberikan tanggapan atas upaya lobi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait pengenaan tarif perdagangan. 

Terbaru, Presiden Trump mengenakan tarif sebesar 32 persen atas barang-barang Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat tertanggal 7 Juli 2025. Alasannya, tidak ada perusahaan dari Indonesia yang melakukan aktivitas manufaktur di Amerika Serikat. 

"Pengenaan tarif oleh Presiden Trump ini membahayakan masa depan perekonomian global, banyak negara akan menempuh jalan proteksionisme, dan itu tidak menguntungkan bagi kerja sama global untuk kemakmuran bersama," kata Said di Jakarta pada Kamis, 10 Juli 2025.

Presiden AS Donald Trump.

Photo :

  • AP Photo/Alex Brandon

Maka dari itu, Said menyarankan kepada pemerintah hendaknya menempuh berbagai langkah di antaranya dari tenggat waktu yang tersedia, tidak ada pilihan bagi pemerintah agar tetap menempuh jalan negosiasi kembali dengan Pemerintah AS. 

Tentu saja, kata dia, pemerintah harus membawa bekal yang lebih menjanjikan dalam proses negosiasi tersebut. Seperti poin yang ditekankan yakni memungkinkan adanya perusahaan Indonesia melakukan aktivitas manufacturing di AS, selain tawaran untuk menurunkan tingkat defisitnya AS dalam perdagangan dengan Indonesia. 

"Seperti terekam dalam data BPS, neraca dagang Indonesia dengan AS mencatat surplus 6,42 miliar dollar AS atau sekitar Rp 104,9 triliun (kurs Rp 16.350 per dollar AS)," jelas Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini.

Kemudian, Said mengatakan AS diakui sebagai negara berpenduduk besar dan dengan daya beli yang sangat besar. Sehingga, menjadi market yang menjanjikan bagi produk-produk ekspor Indonesia. 

"Produk-produk Indonesia seperti tekstil, pakai jadi, alat kaki, peralatan listrik, karet, dan produk karet, alat penerangan, ikan, udang, kakao, dan mesin banyak diminati di pasar AS. Hendaknya, pemerintah memiliki banyak opsi jika tarif 32 persen tetap diberlakukan," ujarnya.

Maka dari itu, Said mengatakan pemerintah harus sesegera mungkin mengupayakan pasar pengganti terhadap beberapa barang ekspor ke AS yang tidak layak dari sisi harga paska pengenaan tarif. 

"Pasar seperti BRICS, Eropa, kawasan Amerika Latin serta Afrika patut untuk didalami," imbuhnya.

Selanjutnya, Said mengatakan secara bersamaan bahwa pemerintah harus mengupayakan jalan penyelesaian multilateral. Semua negara sedang disanksi oleh AS dengan pengenaan tarif perdagangan. Mereka memiliki kegelisahaan yang sama. 

Ibaratnya, lanjut dia, AS sedang memusuhi semua negara, bahkan sekutunya sendiri seperti negara-negara di Eropa barat yang selama ini seiring dan sejalan. 

"Pemerintah bisa menggalang negara-negara tersebut untuk memperkuat kedudukan World Trade Organization (WTO) sebagai kelembagaan yang sah dan adil untuk masalah perdagangan internasional," ungkapnya.

Said menambahkan melalui perundingan multilateral, terutama di WTO atau kelembagaan multilateral lainnya seperti G20 minus AS, pemerintah bisa mengajak untuk membentuk komitmen kerja sama perdagangan internasional.

"Tujuannya mendapatkan pasar baru atas produk produk antar negara yang tidak dapat masuk ke AS karena pengenaan tarif tinggi. Dengan demikian, semua negara tidak perlu khawatir sebab produk mereka mendapatkan pasar pengganti," katanya lagi.

Selain itu, kata Said, pemerintah juga perlu menggalang dukungan internasional lebih luas, karena kepemimpinan Presiden Trump telah mengabaikan seluruh pranata internasional. Dalam soal perdagangan mereka mengabaikan WTO, IMF dan Bank Dunia. 

"Dalam bidang politik dan militer, AS juga mengabaikan segala penyelesaian multilateral. Sudah waktunya pemerintah memelopori penyelesaian multilateral, khususnya dalam masalah perdagangan, moneter, dan keamanan," katanya.

Di dalam negeri, Said mengatakan pemerintah harus memperkuat ketahanan terutama pada sektor pangan, energi, dan moneter. Karena, ketiga sektor tersebut banyak ditopang dari aktivitas impor, dan pengaruh eksternal. 

"Pemerintah perlu mempercepat program ketahanan pangan dan energi, serta menempuh berbagai pembayaran internasional dengan tidak hanya bertumpu pada Dolar AS," pungkasnya.

Halaman Selanjutnya

"Seperti terekam dalam data BPS, neraca dagang Indonesia dengan AS mencatat surplus 6,42 miliar dollar AS atau sekitar Rp 104,9 triliun (kurs Rp 16.350 per dollar AS)," jelas Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |