Google AI Pecat Ratusan Pekerja, Isu Upah dan Serikat Buruh Jadi Sorotan

3 hours ago 1

Jakarta, VIVA – Industri kecerdasan buatan tengah mengalami perkembangan pesat, termasuk di perusahaan raksasa teknologi seperti Google. Namun, di balik inovasi yang terus dikejar, kisah para pekerja kontrak yang berkontribusi besar dalam melatih dan memperbaiki sistem AI, justru mengalami nasib lain. 

Ratusan pekerja yang selama ini menjadi bagian dari proses pengembangan produk-produk AI Google seperti Gemini dan AI Overviews, kini menghadapi kenyataan pahit, yakni pemutusan hubungan kerja secara mendadak.

Fenomena ini menyoroti ketegangan antara teknologi, tenaga kerja, dan korporasi besar. Di satu sisi, AI semakin dibutuhkan untuk menghadirkan produk yang cerdas dan relevan bagi pengguna. 

Di sisi lain, pekerja manusia yang mengajarkan “akal sehat” kepada sistem tersebut justru menghadapi kondisi kerja yang tidak menentu. Perselisihan soal upah, keamanan kerja, hingga upaya pekerja untuk berserikat, kini menjadi sorotan global.

Lebih dari 200 kontraktor yang bekerja mengevaluasi dan memperbaiki produk AI Google, diberhentikan tanpa peringatan dalam sedikitnya dua gelombang PHK bulan lalu. Langkah ini terjadi di tengah konflik berkelanjutan mengenai upah dan kondisi kerja. 

Dalam beberapa tahun terakhir, Google telah mengalihdayakan pekerjaan rating AI, termasuk mengevaluasi, mengedit, atau menulis ulang respons chatbot Gemini agar terdengar lebih manusiawi, kepada ribuan kontraktor yang direkrut perusahaan GlobalLogic milik Hitachi serta penyedia outsourcing lain.

Pekerja menuding bahwa pemutusan kerja ini juga merupakan upaya membungkam protes. “Saya baru saja diputus begitu saja,” kata Andrew Lauzon, yang menerima email pemutusan kerja pada 15 Agustus, sebagaimana dikutip dari Wired, Selasa, 16 September 2025.

“Saya bertanya alasannya, dan mereka bilang pengurangan proyek, apa pun maksudnya,” sambungnya. 

Andrew sendiri bergabung dengan GlobalLogic pada Maret 2024, dengan tugas mulai dari menilai keluaran AI hingga menyusun berbagai prompt untuk model. “Bagaimana kami bisa merasa aman dalam pekerjaan ini ketika kami tahu bahwa kami bisa diberhentikan kapan saja?” ungkapnya.

Kekhawatiran semakin besar karena para pekerja menduga sistem AI justru sedang dilatih untuk menggantikan mereka. Dokumen internal yang tersebar juga menunjukkan GlobalLogic menggunakan penilaian manusia untuk melatih sistem Google AI yang nantinya dapat melakukan penilaian secara otomatis.

Selain itu, pekerja juga menghadapi kebijakan baru yang dianggap memberatkan, termasuk kewajiban kembali ke kantor di Austin, Texas. Kebijakan ini memengaruhi mereka yang memiliki keterbatasan finansial, disabilitas, atau tanggung jawab keluarga. 

Meski menangani pekerjaan yang dianggap berisiko tinggi, delapan pekerja yang diwawancara mengaku digaji rendah, tanpa kepastian kerja, dan dalam kondisi yang tidak mendukung. Dua di antara mereka bahkan telah mengajukan pengaduan ke National Labor Relations Board, menuding dipecat secara tidak adil.

Lebih lanjut, Google menegaskan bahwa para pekerja tersebut bukan karyawan Alphabet. “Individu-individu ini adalah karyawan GlobalLogic atau subkontraktornya, bukan Alphabet," kata juru bicara Google, Courtenay Mencini. 

"Sebagai pemberi kerja, GlobalLogic dan subkontraktornya bertanggung jawab atas pekerjaan dan kondisi kerja karyawan mereka. Kami memandang serius hubungan dengan pemasok kami dan mengaudit perusahaan yang bekerja sama dengan kami berdasarkan Kode Etik Pemasok kami.”

“Kami sebagai penilai memainkan peran yang sangat penting, karena para insinyur yang sibuk mengutak-atik kode tidak akan punya waktu untuk menyempurnakan dan mendapatkan umpan balik yang dibutuhkan bot. Kami seperti penjaga pantai di pantai, kami ada di sana untuk memastikan tidak ada hal buruk yang terjadi," kata Alex, seorang generalist rater.

“Saya sekarang lebih fokus ke hitungan waktu daripada hal lain, pekerjaan yang tadinya merangsang pikiran kini jadi membosankan,” katanya. Ia bahkan mengaku kerap diancam kehilangan pekerjaan jika tidak memenuhi target tersebut.

Upaya pekerja untuk berserikat pun disebut mendapat tekanan. Ricardo Levario, salah satu super rater, mengatakan, pihaknya mulai membangun gerakan berserikat tersebut secara diam-diam. 

Jumlah anggota yang semula 18, sempat naik menjadi 60 pada Februari 2024. Namun, sejak itu, akses ke saluran komunikasi internal dibatasi, dan beberapa pekerja dipecat karena dianggap melanggar kebijakan.

Situasi ini bukan hanya terjadi di Amerika Serikat. Di berbagai belahan dunia, pekerja kontrak AI juga tengah berjuang. Misalnya, sekelompok pekerja label data di Kenya, membentuk Data Labelers Association untuk memperjuangkan upah lebih baik dan menuntut adanya dukungan kesehatan mental.

Halaman Selanjutnya

Pekerja menuding bahwa pemutusan kerja ini juga merupakan upaya membungkam protes. “Saya baru saja diputus begitu saja,” kata Andrew Lauzon, yang menerima email pemutusan kerja pada 15 Agustus, sebagaimana dikutip dari Wired, Selasa, 16 September 2025.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |