Harga Bitcoin Naik Tipis Usai Terpuruk, Analis Prediksi Begini untuk Masa Depan Kripto

6 hours ago 1

Jakarta, VIVA – Harga Bitcoin kembali menunjukkan pergerakan positif usai mengalami penurunan dalam beberapa waktu terakhir. Namun, meskipun ada sedikit kenaikan, analis memperingatkan bahwa volatilitas masih akan tinggi. 

Faktor eksternal, seperti kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump, perang dagang dengan Kanada, Meksiko, dan China, serta ancaman resesi, terus membayangi pergerakan Bitcoin dan aset kripto lainnya.

Mengutip dari DL News, usai mengalami penurunan 2,6 persen dalam sepekan terakhir, harga Bitcoin pada Selasa sore waktu Inggris bertahan di level USD 81.000 atau sekitar Rp1,33 miliar (kurs Rp16.450 per dolar AS). Namun, analis memperkirakan bahwa reli ini mungkin tidak akan bertahan lama. 

Sejak Trump dilantik pada 20 Januari, pasar kripto telah kehilangan seperempat dari total nilainya. Bahkan, pelemahan ini terjadi meskipun pemerintahan AS telah mengakhiri tindakan keras terhadap regulasi kripto dan membentuk cadangan strategis Bitcoin secara nasional.

Mena Theodorou, Co-founder dari bursa kripto Coinstash, menyoroti bahwa Bitcoin sering dianggap sebagai "emas digital" yang dapat menyimpan nilai. Namun, menurutnya, Bitcoin justru bergerak seiring dengan pasar saham.

"Pasar kripto mencerminkan pergerakan pasar tradisional," kata Theodorou seperti dikutip pada Rabu, 12 Maret 2025. "Bitcoin bergerak bersama dengan ekuitas, yang menunjukkan perannya sebagai aset yang sensitif terhadap faktor makro, bukan sebagai lindung nilai murni," tambahnya.

Menurut dia, harga Bitcoin sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global, seperti suku bunga dan pertumbuhan ekonomi. Dia pun memprediksi Bitcoin masih bisa turun lebih dalam, mengingat indeks S&P 500 telah menghapus seluruh keuntungannya sejak Trump terpilih pada 5 November lalu.

"Saya memperkirakan Bitcoin akan menguji level support utama berikutnya, sekitar USD69.000 (atau setara Rp1,13 miliar), yang juga merupakan rekor tertinggi sebelumnya," katanya.

Chris Mills dan David Brickell dari London Crypto Club juga sepakat bahwa Bitcoin masih akan menghadapi volatilitas tinggi dalam beberapa bulan ke depan. "Korelasi jangka pendek Bitcoin dengan aset berisiko akan terus membuat volatilitasnya tetap tinggi," tulis Brickell dan Mills.

Mereka menjelaskan bahwa Bitcoin masih dianggap sebagai aset ‘risk-on’. Artinya, ketika saham-saham teknologi mengalami tekanan, Bitcoin juga cenderung ikut melemah.

VIVA Militer: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump

Dia menjelaskan, ketidakpastian kebijakan Trump terhadap tarif perdagangan dengan mitra dagang utama AS semakin memperburuk sentimen investor. "Ketidakpastian kebijakan terus membebani sentimen investor, yang juga berkontribusi pada kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi AS," katanya.

Namun, langkah pemerintahan Trump dalam membentuk cadangan strategis Bitcoin dipandang sebagai langkah positif. "Langkah ini menegaskan Bitcoin sebagai kelas aset yang diakui, dan dampaknya jauh lebih luas dari sekadar di AS.

Di lain sisi, Mark Hiriart, Kepala Penjualan di Zerocap, menyoroti bahwa pemotongan suku bunga oleh The Fed akan sangat membantu investor aset berisiko seperti saham dan kripto. Namun, menurutnya, kondisi pasar saat ini masih penuh dengan ketidakpastian akibat inflasi yang tinggi dan ancaman perang dagang.

"Inflasi yang sulit dikendalikan dan ancaman tarif perdagangan mendorong investor mencari aset yang lebih aman," tulis Hiriart. "Bitcoin bukanlah lindung nilai seperti yang diharapkan, harganya turun seiring dengan saham teknologi," tambahnya.

Namun, dia melihat sisi positif dari kondisi saat ini. "Sejarah menunjukkan bahwa setiap kali Bitcoin mengalami koreksi, itu sering menjadi peluang beli yang baik," katanya.

Hiriart memperkirakan bahwa jika Bitcoin mampu bertahan di level USD75.000 atau setara Rp 1,23 miliar, investor yang sabar bisa mendapatkan keuntungan besar dalam jangka panjang. "Volatilitas akan tetap tinggi akibat kebijakan Trump, tetapi bagi mereka yang terus mengakumulasi, prospek jangka panjang tetap positif," tegasnya.

Terkait berbagai faktor tersebut, Arthur Hayes, Co-founder BitMEX, memberikan analisisnya dengan singkat dan jelas. "Bersabarlah," kata dia.

Hayes sebelumnya telah memprediksi bahwa Bitcoin akan jatuh ke USD 75.000, dan harga memang sempat menyentuh USD 77.100 pada Senin. Dia memperkirakan Bitcoin masih bisa turun hingga USD 70.000 sebelum kembali menguat. Dengan kurs saat ini, angka tersebut setara dengan Rp1,15 miliar.

Menurutnya, krisis ekonomi bisa mendorong bank sentral untuk bertindak. Hayes juga telah lama berpendapat bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang terlalu longgar justru membuka jalan bagi bull market kripto jangka panjang.

Jika institusi keuangan tradisional mulai mengalami tekanan, Hayes memprediksi bank sentral, termasuk The Fed, Bank Rakyat China, serta bank sentral di Uni Eropa dan Jepang, akan memangkas suku bunga dan mencetak lebih banyak uang.

"Bagi investor yang lebih konservatif, tunggu sampai bank sentral mulai melonggarkan kebijakan, lalu baru masuk dengan modal lebih besar," tulisnya.

Halaman Selanjutnya

Menurut dia, harga Bitcoin sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global, seperti suku bunga dan pertumbuhan ekonomi. Dia pun memprediksi Bitcoin masih bisa turun lebih dalam, mengingat indeks S&P 500 telah menghapus seluruh keuntungannya sejak Trump terpilih pada 5 November lalu.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |