Jakarta, VIVA - Kepala Komunikasi Kepresidenan RI, Hasan Nasbi angkat bicara soal efisiensi anggaran yang dialami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Dia membantah BMKG mengalami efisiensi anggaran sebanyak 50 persen atau sekitar Rp1,423 triliun dari total Rp2,826 triliun.
"Tidak benar anggaran BMKG terkena efisiensi sebesar 50 persen, silakan cek lagi ke BMKG untuk data terbaru," kata Hasan dalam keterangannya pada Selasa, 11 Februari 2025.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Sebelumnya diberitakan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menghadapi tantangan besar setelah pemerintah memangkas anggarannya secara signifikan. Pemotongan ini berpotensi menghambat kemampuan BMKG dalam mendeteksi perubahan cuaca, iklim, serta ancaman bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami.
Demi menjaga ketahanan nasional dan keselamatan masyarakat, BMKG pun mengajukan permohonan dispensasi anggaran kepada Presiden Prabowo Subianto.
Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG, Muslihhuddin mengatakan lembaga tersebut memahami kebijakan efisiensi anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden. Berdasarkan surat dari Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, BMKG harus mengurangi anggaran hingga Rp1,423 triliun dari total Rp2,826 triliun.
Namun, pemotongan ini berdampak serius terhadap operasional BMKG, khususnya dalam hal pemeliharaan alat utama yang digunakan untuk pemantauan cuaca dan aktivitas geologi.
Dengan berkurangnya anggaran, kemampuan pemeliharaan alat operasional BMKG menurun hingga 71 persen. Akibatnya, akurasi informasi cuaca, iklim, gempa bumi, dan tsunami diprediksi turun drastis dari 90 persen menjadi hanya 60 persen.
Selain itu, peringatan dini tsunami yang sebelumnya dapat dikeluarkan dalam waktu tiga menit kini berisiko melambat menjadi lima menit atau lebih. Penyebarluasan informasi terkait gempa bumi dan tsunami pun berkurang hingga 70 persen, yang berarti banyak wilayah mungkin tidak akan mendapatkan informasi dengan cepat dan akurat.
“Ketepatan akurasi informasi cuaca, iklim, gempa bumi dan tsunami menurun dari 90 persen menjadi 60 persen, dan kecepatan informasi peringatan dini tsunami dari 3 menit turun menjadi 5 menit atau lebih. Jangkauan penyebarluasan informasi gempa bumi dan tsunami menurun 70 persen,” katanya yang dikutip dari Antara pada Selasa, 11 Februari 2025.
BMKG saat ini mengoperasikan hampir 600 alat sensor yang tersebar di seluruh Indonesia untuk mendeteksi gempa bumi dan tsunami. Sayangnya, sebagian besar alat tersebut sudah melewati masa pakai yang ideal. Jika pemeliharaan tidak bisa dilakukan akibat pemangkasan anggaran, maka risiko kegagalan sistem deteksi dini semakin tinggi.
Selain berdampak pada mitigasi bencana, pemangkasan anggaran ini juga menghambat penelitian jangka panjang tentang perubahan iklim dan tektonik di Indonesia. Modernisasi sistem peralatan BMKG pun terhenti, yang berpotensi mengancam keselamatan sektor transportasi udara dan laut.
Bahkan, layanan BMKG untuk ketahanan pangan, energi, serta peringatan dini di kawasan Samudera Hindia dan ASEAN bisa terganggu.
Menghadapi risiko ini, BMKG menegaskan bahwa mitigasi bencana hidrometeorologi dan geologi harus menjadi prioritas nasional. Keselamatan masyarakat tidak bisa dikompromikan, sehingga BMKG meminta dukungan agar tetap dapat beroperasi secara optimal.
“Oleh karena itu, perlu adanya dukungan yang berfungsi secara maksimal dalam membangun masyarakat yang tahan bencana,” tambahnya.
Halaman Selanjutnya
Selain itu, peringatan dini tsunami yang sebelumnya dapat dikeluarkan dalam waktu tiga menit kini berisiko melambat menjadi lima menit atau lebih. Penyebarluasan informasi terkait gempa bumi dan tsunami pun berkurang hingga 70 persen, yang berarti banyak wilayah mungkin tidak akan mendapatkan informasi dengan cepat dan akurat.