Jakarta, VIVA – Merokok masih menjadi penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), setiap tahun sekitar 300.000 jiwa meninggal akibat rokok.
Berbagai upaya pun telah dilakukan untuk menekan angka perokok, salah satunya melalui Tobacco Harm Reduction (THR). Namun, apa itu pendekatan THR, dan bagaimana dampaknya dalam membantu perokok berhenti?
Mengenal Pendekatan THR
Ilustrasi hidup sehat tanpa rokok. (Unsplash.com/JJ Shev)
THR adalah metode yang bertujuan mengurangi dampak risiko dari merokok. Berdasarkan laporan Lives Saved Report dari Global Health Consults, penerapan THR disebut dapat menyelamatkan 4,6 juta nyawa perokok hingga 2060 di Indonesia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan, THR bisa menjadi alternatif dalam upaya berhenti merokok, tetapi masih memerlukan kajian lebih lanjut. "Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok," ujar Nadia seperti dikutip dari siaran pers, Selasa, 11 Februari 2025.
Saat ini, Kemenkes masih mengandalkan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui layanan konseling di puskesmas dan hotline berhenti merokok. Nadia mengakui bahwa layanan ini belum maksimal dan masih perlu dikembangkan lebih luas.
"Secara strategi [untuk mendorong masyarakat berhenti merokok] kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar bisa evidence-based," ujar dia.
Terkait ini, peneliti. Dr. Ronny Lesmana dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran menyatakan bahwa strategi berhenti merokok selama ini masih belum cukup efektif. "Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko, menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami," kata Ronny.
Studi yang dilakukan membandingkan sel molekuler perokok konvensional dengan pengguna produk alternatif rendah risiko. Penelitian di enam negara menunjukkan, beberapa produk alternatif memiliki tingkat toksisitas lebih rendah dibandingkan rokok biasa.
Meski begitu, kajian mengenai THR di Indonesia masih terbatas. Prof. Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO), menilai bahwa riset lokal sangat diperlukan sebelum metode ini bisa dijadikan dasar kebijakan.
Lebih lanjut, Praktisi Kesehatan dr. Arifandi Sanjaya juga menyoroti tantangan dalam membantu orang berhenti merokok. Menurut dia, ada berbagai cara yang bisa diterapkan, tetapi regulasi yang jelas dan berbasis riset tetap diperlukan.
"Membuat orang berhenti merokok itu susahnya luar biasa. Maka perlu membatasi dosisnya, perlu diturunkan frekuensi zat berbahaya dan ditingkatkan kualitas hidupnya, akhirnya dicari produk alternatif," jelas Arifandi.
Halaman Selanjutnya
"Secara strategi [untuk mendorong masyarakat berhenti merokok] kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar bisa evidence-based," ujar dia.