Jakarta, VIVA - Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menyarankan Presiden RI, Prabowo Subianto mengganti Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Sebab, ia menilai Listyo Sigit sebagai Kapolri terburuk sepanjang era reformasi saat ini.
Selain sebagai Kapolri terburuk, mungkin Listyo Sigit juga menjadi Kapolri terlama era reformasi. Diketahui, Listyo Sigit menjadi Kapolri sejak era Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) pada 27 Januari 2021 hingga sekarang Februari 2025. Ia jadi Kapolri menggantikan Jenderal (purn) Idham Azis saat itu.
“Jenderal Listyo Sigit gagal menjalankan perannya sebagai Kapolri, bahkan menjadi Kapolri terburuk sepanjang era reformasi saat ini. Jadi, tak ada kata tidak untuk segera menggantinya bila Presiden Prabowo ingin segera melakukan pembenahan pada Polri,” kata Bambang saat dihubungi VIVA dikutip pada Minggu, 9 Februari 2025.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
Bambang menilai apa yang disampaikan Listyo Sigit ada benarnya, bahwa ikan busuk mulai dari kepalanya. Kata dia, problemnya adalah konsistensi antara ucapan dan tindakan itu tidak mudah karena dibutuhkan mentalitas yang kuat untuk mengakui kesalahan.
“Bila tidak, memang harusnya kekuasaan yang lebih tinggilah yang segera mencopot dan menggantinya,” tegas Bambang.
Menurut dia, pemilihan pejabat Kapolri bukan sekedar memilih penjaga kekuasaan, tetapi penjaga keamanan negara yang berarti bisa menjaga jalannya pemerintahan, hak-hak rakyat dan membangun pondasi yang kuat bagi institusi Polri yang lebih baik dan profesional ke depannya.
“Di 2 poin terakhir itulah, Jenderal Listyo Sigit gagal menjalankan perannya sebagai Kapolri,” ujarnya.
Dalam kurun dua bulan belakangan ini yakni Januari dan Februari 2025, publik dibuat tercengang dengan perbuatan anggota polisi yang bertugas di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Di mana, anggota Polri itu melakukan dugaan pemerasan terhadap masyarakat, termasuk warga asing (WNA) asal Malaysia.
Pertama, kasus pemerasan yang dilakukan polisi terhadap WNA Malaysia yang menonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP) di Kemayoran, Jakarta Pusat. Akibatnya, sejumlah anggota polisi dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) alias dipecat, di antaranya Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak selaku mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro.
Baru selesai kasus WNA asal Malaysia, muncul lagi pemerasan yang dilakukan polisi. Diduga, polisi ini memeras anak bos Prodia yang terseret kasus pembunuhan dan pelecehan seksual di Polres Jakarta Selatan. Akibatnya, mantan Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan AKBP Bintoro pun dipecat atas perbuatannya.
Namun, dua kasus di atas sebagai contoh yang barangkali ditindaklanjuti oleh Polri karena menjadi sorotan publik. Mungkin saja, masih ada beberapa kasus lainnya yang dilakukan anggota polisi tapi tidak tersorot masyarakat.
“Sidang KKEP yang harusnya menjadi penjaga etika profesi tertinggi, bahkan malah menjadi tempat perlindungan para personel pelaku pelanggaran,” ucapnya.
Anehnya, kata dia, proses pidana bagi anggota Polri sebagai pelaku pemerasan tidak juga dilakukan dengan berbagai dalih normatif. Sepertinya, equality before the law tak berlaku bagi personel Polri. Ajaibnya, hal itu terjadi di era Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
“Tidak melakukan proses pidana, berarti Polri punya tafsir tersendiri, bahwa bagi polisi pemerasan bukan tindak pidana. Dan itu semua terjadi di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit. Tanpa ada pergantian kepemimpinan Polri, sangat sulit untuk memulai pembenahan institusi ini,” ungkapnya.
Melihat fenomena ini, Bambang mengatakan masyarakat mulai tidak percaya aduannya akan ditindaklanjuti jika melapor ke kepolisian melalui Divisi Propam maupun satuan kerja lainnya. Lebih baik, kata dia, masyarakat meramaikannya langsung melalui media sosial dengan modal keberanian, dan tentunya punya alat bukti yang cukup kuat.
“Kasus pemerasan atau menerima suap itu adalah hal yang jamak di kepolisian. Saat ini ramai karena sudah mulai banyak yang berani speak up. Kalau ada sudah pegang bukti, masyarakat tinggal bersuara di medsos, dan nunggu viral. Karena meski Divisi Propam atau yang lainnya membikin saluran pengaduan, bagi masyarakat tidak efektif dan tak ada jaminan bahwa kasusnya dituntaskan,” katanya.
Kata Bambang, kewenangan yang sangat besar tanpa ada kontrol dan pengawasan yang kuat tentu peluang korupsinya juga besar. Artinya, sistemnya membuka peluang untuk personel menyalahgunakan kewenangan.
Menurut dia, modus itu seperti sel kanker yang menggerogoti institusi Polri, menjalar di semua organ tubuh Polri baik pelayanan publik maupun di belakang.
“Kalau satuan di depan atau bawah memeras, yang di belakang atau atas menerima setoran untuk sekolah, naik pangkat atau mendapat jabatan. Apakah semua melakukan itu? Pasti tidak. Cuma yang tidak melakukan jumlahnya sangat kecil, dan tentu tak mendapat posisi yang strategis,” kata Bambang.
Selain itu, Bambang mencatat di tahun-tahun terakhir ini menjadi semakin parah karena Polri juga tergoda dengan politik kekuasaan. Kloplah sudah. Kewenangan yang sangat besar, didukung kekuasaan tanpa kontrol yang kuat mengakibatkan arogansi-arogansi muncul. Korbannya masyarakat pencari keadilan.
“Kontrol dan pengawasan internal itu bisa efektif bila ada kepemimpinan yang tegas, bersih dan transparan. Dan ironisnya, itu tidak terlihat dalam kepemimpinan Jendral Listyo Sigit selama 4 tahun ini. Alih-alih melakukan pembenahan, mereka yang terjerat kasus malah dipromosikan. Makanya, kasus-kasus pemerasan saat ini banyak menyeret para Pamen ke bawah,” pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
Dalam kurun dua bulan belakangan ini yakni Januari dan Februari 2025, publik dibuat tercengang dengan perbuatan anggota polisi yang bertugas di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Di mana, anggota Polri itu melakukan dugaan pemerasan terhadap masyarakat, termasuk warga asing (WNA) asal Malaysia.