Jakarta, VIVA – Kontroversi terkait status kemitraan mitra pengemudi dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan aplikasi transportasi daring terus menjadi sorotan di berbagai media Indonesia.
Seiring berkembangnya ekonomi digital, perdebatan muncul mengenai apakah mitra pengemudi seharusnya dikategorikan sebagai pekerja atau tetap diperlakukan sebagai mitra sesuai skema yang berlaku saat ini?
Terlepas dari maksud baik untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi mitra pengemudi, hal tersebut harus dilakukan secara sistemik, jika tidak ingin kontraproduktif.
"Apabila pemerintah memaksakan perubahan status kemitraan ini tanpa dukungan sub-sub sistem di dalamnya, dampaknya tidak hanya akan menghantam industri ride-hailing, tetapi juga berisiko merusak ekosistem investasi, menghambat pertumbuhan ekonomi digital, dan pada akhirnya justru dapat mengancam kesejahteraan jutaan mitra pengemudi dan keluarganya," kata Profesor Ari Hernawan, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ilustrasi driver ojek online (ojol)
Photo :
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Selain itu, sektor lain yang sangat bergantung pada layanan ride-hailing, seperti UMKM, pariwisata, dan logistik juga akan merasakan dampak negatifnya.
Di tengah dorongan pemerintah untuk mendigitalisasi ekonomi, kebijakan kebijakan yang inkonsisten terasa ironis karena akan berpotensi membatasi inovasi dan fleksibilitas kerja yang menjadi daya tarik utama industri digital.
"Secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi telah diatur sebagai hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja," ujar Ari Hermawan.
Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, secara eksplisit menyatakan bahwa pengemudi dalam platform ride-hailing berstatus mitra, bukan pekerja.
Meskipun kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan meliputi segala hal yang berkaitan dengan tenaga kerja, namun dalam penafsiran otentik dan pasal demi pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 serta peraturan pelaksanaannya sebenarnya tidak mencakup urusan kemitraan ini, melainkan hanya hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Namun, pemerintah tampaknya tidak konsisten dalam menegakkan regulasi ini, di satu sisi pemerintah mengakui bahwa mitra pengemudi bukan pekerja dan oleh karena itu tidak berhak atas perlindungan sebagai pekerja seperti THR, tetapi di sisi lain, ada dorongan untuk memperlakukan mitra seperti pekerja dalam aspek tertentu, seperti tuntutan perlindungan sosial dan kesejahteraan.
"Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin mengambil manfaat dari model ekonomi gig, tetapi enggan memberikan kejelasan hukum yang melindungi keberlanjutan ekosistem ini," paparnya.
Lalu, Apakah Mitra Pengemudi Memenuhi Kriteria Pekerja Formal?
Ribuan pengemudi ojek online (ojol) beserta kurir se-Jabodetabek melakukan aksi demonstrasi.
Photo :
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian untuk melakukan pekerjaan dapat berupa, perjanjian pemborongan, perjanjian melakukan jasa tertentu atau, perjanjian kerja, sehingga sekalipun melakukan pekerjaan, tidak dapat diartikan bahwa yang timbul adalah hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang sebagian pasal-pasal didalamnya sudah dicabut ataupun dirubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur esensial yaitu pekerjaan, perintah, dan upah secara kumulatif.
"Jika melihat dari perspektif regulasi ini, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi tidak memenuhi ketiga unsur tersebut.
Dengan melihat bisnis prosesnya, skema kerja seperti ini lebih menyerupai model bisnis kemitraan, dibandingkan hubungan kerja yang tunduk pada hukum ketenagakerjaan, meskipun ada yang menyebutkan kemitraan semu.
Kalaupun ada kehendak untuk menjadikan mitra pengemudi masuk dalam katagori pekerja dengan hubungan kerja didalamnya, maka perlu ada perubahan secara sistemik, mulai definisi pekerja, unsur hubungan kerja dan lain-lain.
"Sayangnya, alih-alih memperjelas posisi hukum ini, pemerintah justru membiarkan polemik berlarut-larut tanpa kepastian, menciptakan ketidakstabilan bagi mitra pengemudi dan industri secara keseluruhan."
Selain itu, tuntutan populis yang kontradiktif dengan regulasi THR untuk mitra platform digital.
Pemberian tunjangan hari raya (THR) diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan bahwa THR hanya diberikan kepada pekerja yang memiliki hubungan kerja.
"Meskipun dari perspektif mitra pengemudi wacana pemberian THR direspons positif, tetapi jika pemerintah melalui Menaker memaksakan kebijakan ini terhadap perusahaan aplikasi ride-hailing, maka akan terjadi benturan dalam tatanan-sistem hukum ketenagakerjaan yang ada, oleh karena itu perlu ada kajian mendalam sebelumnya," jelasnya.
Apalagi, kata Prof Ari, jika misalnya benar adanya sinyalemen bahwa wacana pemberlakuan THR bagi mitra pengemudi lebih mencerminkan tekanan politik dan populisme ketimbang kebijakan yang berbasis regulasi dan keberlanjutan ekonomi.
"Kalaupun Pemerintah ingin mengambil langkah populis untuk menunjukkan keberpihakan kepada pekerja gig, harus juga mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap fleksibilitas kerja dan ekosistem ride-hailing," paparnya.
"Jika regulasi dibuat sekadar untuk memenuhi tuntutan politik tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum, ekonomi, dan sosial didalamnya, maka yang akan terjadi justru pemangkasan peluang kerja, menurunnya investasi, serta terganggunya stabilitas industri digital di Indonesia dengan segala kompleksitas permasalahan di dalamnya."
Pemerintah,menurut Prof Ari, harus konsisten dan visioner. Di banyak negara, dalam persoalan ketenagakerjaan, pemerintah salah satunya berperan sebagai regulator yang memastikan keseimbangan antara hak pekerja dan keberlanjutan industri. Namun, di Indonesia, dalam konteks mitra pengemudi, pemerintah justru terkesan gamang dan reaktif dalam menyikapi perkembangan ekonomi digital.
"Jika pemerintah serius ingin mendukung kesejahteraan mitra pengemudi, solusinya bukanlah dengan memaksakan kebijakan yang bertentangan dengan regulasi- sistem hukum yang ada, tetapi misalnya dengan memberikan insentif yang lebih relevan, misalnya, melalui program perlindungan sosial, akses pembiayaan yang lebih mudah, serta skema insentif berbasis produktivitas."
Kalaupun ingin memberikan hak-hak sebagai pekerja kepada mitra pengemudi, maka harus dilakukan secara sistemik. Itu pun harus dengan kajian yang mendalam, jangan sampai merusak ekosistem yang ada dan justru kontraproduktif.
Persoalan mitra pengemudi ini, melibatkan banyak stakeholders kelembagaan, yang secara koordinatif harusnya duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan tanpa menciptakan permasalahan baru.
"Jika pemerintah terus bersikap ambigu dan membiarkan ketidakpastian hukum ini berlarut-larut, bukan tidak mungkin industri ride-hailing dan ekonomi digital Indonesia akan kehilangan daya saingnya. Alih-alih menarik investor dan mendukung inovasi, kebijakan yang tidak konsisten ini justru bisa membuat perusahaan dan talenta digital mencari peluang di negara lain yang lebih ramah terhadap industri ekonomi gig," tutur Ari.
Di tengah supply dan demand tenaga kerja yang tidak seimbang, tentu hal ini akan memicu persoalan tersendiri.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan hanya terbatas soal THR atau status pekerja, tetapi bagaimana pemerintah bisa bersikap lebih konsisten dan visioner dalam menciptakan regulasi yang mendukung ekosistem kerja digital tanpa mengorbankan fleksibilitas yang telah menjadi daya tarik utama industri ini dengan tetap memberikan perlindungan kepada “pekerja gig” didalamnya.
"Kebijakan yang tergesa-gesa hasilnya adalah ketidakdalaman-ketidakdalaman. Seberapa bagusnya konsep-idealisme yang ditawarkan, perlu daya dukung ekosistem didalamnya serta kajian mendalam agar operasional dan tidak kontraproduktif, terutama dari stakeholders kelompok sasaran, karena merekalah yang terdampak dan harus melaksanakan kebijakan tersebut," pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
"Secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi telah diatur sebagai hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja," ujar Ari Hermawan.