Para Pakar Hukum Nilai KPK Berpotensi Melanggar Hukum Tetapkan Hasto Tersangka, Ini Alasannya

3 hours ago 1

Jakarta, VIVA – Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang dengan Firlmy Law Firm, Yogyakarta, menggelar Focused Group Discussion (FGD) terhadap permohonan praperadilan Hasto Kristiyanto. Dalam FGD itu, disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpotensi melakukan sejumlah pelanggaran hukum.

Para ahli hukum yang terlibat dalam FGD ini ialah Chairul Huda, Prof Amir Ilyas, Prof. Eva Achjani Zulfa, ⁠⁠Prof. Ridwan, Beniharmoni Harefa, Mahrus Ali, Aditya Wiguna Sanjaya, ⁠⁠Idul Rishan, ⁠⁠Maradona, dan Wahyu Priyanka Nata Permana sebagai fasilitator. 

FGD ini meninjau penetapan tersangka Hasto Kristiyanto berdasarkan Laporan Pengembangan Penyidikan, apakah telah berkesesuaian dengan putusan pengadilan dalam Perkara Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahari.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

"Dalam putusan yang dikaji itu, Bapak Hasto itu sebetulnya tidak terlibat sama sekali dalam delik aduan. Itu kan suap ya, ada Harun Nasiku yang DPO, kan? Ada, Saiful Bahri, ada Wahyu Setiawan, kemudian Agustiani Tio Fridelina. Artinya kalau kemudian pengembangan perkara berdasarkan putusan itu Pak Hasto jadi tersangka, itu dari kajian kami itu tidak tepat," kata Amir dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, Selasa 4 Februari 2025.

Dalam FGD itu dihasilkan beberapa poin kesimpulan. Pertama, seharusnya laporan pengembangan penyidikan/perkara tidak bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah inkracht, karena proses pengembangan dilakukan untuk mengungkap fakta baru yang belum diperiksa dalam persidangan sebelumnya.

Namun, jika pengembangan penyidikan dilakukan dengan mengabaikan pertimbangan hakim dalam putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau mengaitkan seseorang yang sebelumnya dinyatakan tidak terlibat, maka laporan tersebut berpotensi melanggar prinsip kepastian hukum dan dapat dipersoalkan dalam praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.

Kedua, dalam beberapa putusan pengadilan atas Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri tersebut, majelis hakim telah menyimpulkan terbukti ada kerja sama yang erat antara terdakwa Saeful Bahri, Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, Harun Masiku dan Donny Tri Istiqomah, sehingga perbuatan tersebut telah selesai dengan sempurna.

Dalam putusan tersebut tidak ada perintah hakim atau pertimbangan yang menunjukkan keterlibatan Hasto dalam tindak pidana suap.

Selain itu, hasil FGD para pakar tersebut juga mengkaji tentang status hukum penggunaan alat bukti yang diperoleh berdasarkan dari Sprindik atas nama tersangka lain untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka. 

Hasil FGD menyimpulkan suatu penetapan tersangka untuk dikatakan sebagai alat bukti yang sah, maka cara mendapatkan alat bukti tersebut juga harus melalui prosedur yang sah juga.

Dalam kasus Hasto, maka apabila dalam penetapan sebagai tersangka didasarkan pada alat bukti lain yang diperoleh sebelum Sekjen PDIP itu ditetapkan sebagai tersangka yang didasarkan pada Sprindik atas nama tersangka lain, maka secara mutatis mutandis, status alat bukti tersebut menjadi tidak sah pula. Sebagaimana telah termuat dalam pertimbangan Hakim dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.prap/2017/PN.Jkt.sel (Perkara Setya Novanto vs KPK Jilid I).

Tentunya alat bukti yang sah dalam penetapan tersangka Hasto haruslah alat bukti yang diperoleh melalui pemeriksaan ulangan atau yang ditujukan khusus untuk Perkara Dugaan Tindak Pidana Suap dan Tindak Pidana Perintangan Penyidikan terhadap saksi-saksi maupun ahli termasuk alat bukti surat yang dilakukan penyitaan kembali yang semuanya harus didasarkan pada surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik.153/DIK.00/01/12/2024, tertanggal 23 Desember 2024 dan Sprin.Dik/152/DIK.00/01/2024, tertanggal 23 Desember 2024.

Apabila alat bukti diperoleh tanpa dasar Sprindik tersebut atau berdasarkan Spindik tersangka lain, maka status penggunaannya menjadi tidak sah pula.

Para pakar juga mengkaji kewenangan pimpinan KPK pascaperubahan UU KPK No.19 Tahun 2019. Pimpinan KPK itu tidak lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.

Para pakar melihat setelah dihapuskan kewenangan pimpinan KPK sebagai Penyidik sehingga penerbitan sprindik dan SPDP itu menjadi problematik. Sebagai suatu keputusan, sprindik dan SPDP itu harus dibuat sesuai syarat formal dan syarat materiil.

Berdasarkan Peraturan KPK RI No. 04 Tahun 2016 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan KPK, format sprindik dan SPDP telah ditentukan termasuk siapa yang harus menandatangani, yakni pejabat yang berwenang. Menurut ketentuan Peraturan KPK No. 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, Direktorat Penyidikan itu berada di bawah Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, dan Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi berada di bawah Pimpinan KPK.

Sehubungan berdasarkan Pasal 21 UU No. 19 Tahun 2019 Pimpinan KPK tidak lagi memiliki kewenangan penyidikan, atau tidak lagi sebagai penyidik, Pimpinan KPK tidak berwenang menandatangani sprindik dan SPDP.

Deputi Penindakan dan Eksekusi atau Direktur Penyidikan juga tidak dapat menandatangani sprindik dan SPDP untuk dan/atas nama Pimpinan KPK. Ditegaskan lagi bahwa tidak ada pendelegasian wewenang dan pemberian mandat oleh pejabat yang tidak berwenang.

Halaman Selanjutnya

Kedua, dalam beberapa putusan pengadilan atas Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri tersebut, majelis hakim telah menyimpulkan terbukti ada kerja sama yang erat antara terdakwa Saeful Bahri, Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, Harun Masiku dan Donny Tri Istiqomah, sehingga perbuatan tersebut telah selesai dengan sempurna.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |