Jakarta, VIVA – Indonesia ditegaskan memiliki potensi besar dalam implementasi carbon capture storage/carbon capture utilization storage (CCS/CCUS) berdasarkan kapasitas penyimpanan karbon yang dimiliki. Namun ada sejumlah tantangan yang masih menjadi pengerjaan rumah guna memaksimalkan potensi tersebut.
Director of Indonesia and Regional CCS Strategic Initiative Indonesia CCS Center Diofanny Swandrina Putri menilai, potensi yang dimiliki Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata meski tidak termasuk dalam lima besar dunia.
“Kalau secara dunia, kita (Indonesia) tidak ada di lima besar, tapi untuk di Asia kita adalah yang pertama. Indonesia punya potensi penyimpanan karbon 80 gigaton – 600 gigaton,” ujar Diofanny dalam sesi diskusi bertajuk Integrasi Carbon Capture Storage/Carbon Utilization Storage, dikutip Rabu 9 Juli 2025.
Diofanny menjelaskan, saat ini ada dua lapisan yang bisa dimanfaatkan untuk penyimpanan karbon. Kondisi tersebut menjadi sebuah awalan yang baik bagi Indonesia untuk mendorong kegiatan CCS/CCUS di Tanah Air. “(Kapasitas) 600 gigaton sebagai starting point sudah sangat besar,” tuturnya.
Tantangan kemandirian energi nasional.
Dia menambahkan, pemanfaatan CCS/CCUS secara optimal juga dapat berkontribusi pada pengurangan emisi karbon hingga 17 persen pada tahun 2060. Hal tersebut termasuk dengan berbagai inisiatif pengurangan emisi karbon lainnya.
Meski demikian, terlepas dari besarnya potensi penyimpanan karbon yang dimiliki Indonesia, ia mengakui jika optimalisasi CCS/CCUS bukanlah hal mudah.
Hal tersebut pun diungkapkan Chief of Insight, Strategy and Execution SKK Migas Adam Sheridan. “Data mengatakan CCS menyerap karbon paling tinggi. Potensi 600 gigaton itu alangkah bagusnya kalau bisa dimanfaatkan. Cuma tantangannya tidak mudah dan banyak sekali faktornya. Tidak cuma subsurface tapi juga faktor pembeli,” kata Adam menyinggung soal perdagangan karbon.
Adam menjelaskan, hingga saat ini Indonesia telah memiliki 14 aktivitas terkait CCS/CCUS. Namun, belum ada aktivitas yang bersifat komersial karena berbagai hal. “Hasil hitungan sementara kami (SKK Migas), kalau untuk skala kecil itu kita tidak bisa membangun standalone project karena tidak ekonomis,” tuturnya.
Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Haruki Agustina mengungkapkan, tantangan lain dalam mendorong kegiatan CCS/CCUS adalah terkait perizinan.
“Dalam konteks perizinan, belum ada peraturannya. Harus dilihat serta melakukan riset dan analisis. Harus ada kajian-kajian, nanti diajukan ke kami (Kementerian Lingkungan Hidup) untuk perizinan,” terang Haruki.
Adapun penerapan teknologi CCS/CCUS merupakan salah satu langkah penting untuk mengurangi jejak karbon, memperpanjang umur produksi migas, sekaligus memberikan kontribusi ekonomi lewat perdagangan karbon.
Hal ini juga mendukung target Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 dan memenuhi komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) yang menargetkan pengurangan emisi 29% secara mandiri pada 2030.
Halaman Selanjutnya
Hal tersebut pun diungkapkan Chief of Insight, Strategy and Execution SKK Migas Adam Sheridan. “Data mengatakan CCS menyerap karbon paling tinggi. Potensi 600 gigaton itu alangkah bagusnya kalau bisa dimanfaatkan. Cuma tantangannya tidak mudah dan banyak sekali faktornya. Tidak cuma subsurface tapi juga faktor pembeli,” kata Adam menyinggung soal perdagangan karbon.