Jakarta, VIVA – Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid menyentil Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan agar pelaksanaan pemilu nasional dan daerah tidak digelar serentak.
Hal itu disampaikan Jazilul dalam acara diskusi bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, 4 Juli 2025.
Jazilul awalnya mengatakan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak ada pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Dia kemudian mengkritik MK yang seringkali mengubah desain pemilu.
“Masalahnya, ini bukan soal enak enggak enak, soal setuju enggak setuju, tapi desain pemilu yang seringkali berubah-ubah, dan juga drastis yang paling banyak mengubah itu MK,” katanya.
Pemungutan suara atau pencoblosan di pemilu. (Foto ilustrasi).
“Sejak mengubah usia calon Presiden dan Wakil Presiden, mengubah 0 persen untuk Presidensial Threshold, ini lagi ada istilah baru, pemilu nasional dan pemilu daerah dengan alasan capek katanya,” ujanya menambahkan.
Jazilul menjelaskan partainya menghormati kewenangan MK dalam memutuskan gugatan terhadap undang-undang. Di sisi lain, dia menyoroti status MK yang mengaku sebagai penjaga konstitusi.
Dia menyebutkan, jika MK bertugas sebagai penjaga konstitusi, seharusnya tidak perlu ikut mengatur undang-undang dan membuat norma-norma baru. Menurutnya, langkah MK itu justru menimbulkan kontroversi.
“Kalau dia penjaga ya dia gak usah ngatur. Jaga tapi ikut ngatur. Dia menyebut dirinya guardian of constitution. Dia menjadi penjaga konstitusi, MK,” ujar Jazilul.
“Loh kok banyak keputusannya bukan hanya menjaga, ikut ngatur pula. Norma-norma baru dibuat. Nah ini yang membuat kontroversi,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal ini pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan DPR, DPD RI akan dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota mulai 2029 mendatang.
MK memutuskan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.
"Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) dsn Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025.
Dalam pertimbangannya, MK memerintahkan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan untuk memilih anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
"Sehingga Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai Pemilu lima kotak tidak lagi berlaku," ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.
Halaman Selanjutnya
“Loh kok banyak keputusannya bukan hanya menjaga, ikut ngatur pula. Norma-norma baru dibuat. Nah ini yang membuat kontroversi,” katanya.