Tanpa Industrialisasi dan Hilirisasi, RI Disebut Sulit Capai Target Indonesia Emas

3 hours ago 1

Selasa, 4 Maret 2025 - 12:33 WIB

Jakarta, VIVA – Pakar di bidang infrastruktur sekaligus pengajar Universitas Pertahanan Heru Dewanto menilai, iklim sosial di Indonesia belum dapat mendukung penciptaan mesin pertumbuhan yang berkelanjutan.

"Sistem sosial di tanah air kita memang belum kondusif untuk penciptaan new money. Dunia usaha kita lebih suka mendaur ulang old money, dimulai dari ekstraksi minyak bumi hingga menjadi net importer, dilanjutkan dengan membabat hutan, lalu kelapa sawit," ujar Heru dikutip dalam keterangannya, Selasa, 4 Maret 2025.

Heru mengatakan, untuk mencapai target Indonesia Emas 2045, RI harus beralih ke inovasi dan aplikasi teknologi baru yang akan menghasilkan new money yang didapatkan melalui tumbuh kembangnya mesin-mesin ekonomi baru. 

"Hanya dengan begitu kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045, karena nyatanya setelah 30 tahun lebih sejak kita masuk kelompok middle income country di tahun 1993, mesin-mesin ekonomi lama belum juga mampu mengangkat Indonesia keluar dari jebakan untuk menjadi negara maju," katanya.

Ekonomi Indonesia

Photo :

  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Dia menilai, salah satu masin ekonomi yang diandalkan adalah industrialisasi dan hilirisasi. Menurutnya negara-negara yang saat ini sudah maju mampu berhasil karena peran dari industri.

Heru menilai, langkah yang paling logis adalah memulai hilirisasi pada komoditas-komoditas unggulan Indonesia, seperti nikel yang menduduki peringkat pertama, bauksit peringkat keenam, dan timah peringkat kedua di dunia.

Heru menekankan, yang terpenting menjadikan komoditas unggulan sebagai keunggulan kompetitif dengan pemilihan teknologi yang tepat. Menurutnya, tenologi ekstraksi nikel menggunakan high pressure acid leaching (HPAL) yang banyak digunakan kini dikritisi karena limbah B3 nya yang jauh melebihi jumlah bahan baku.

"Akibatnya dunia mulai beralih menggunakan teknologi baterai lain seperti LFP (litium ferro phosphat), hidrogen dan Sodium Ion. Kita akan kehilangan kesempatan menjadi pemain utama baterai dunia berbasis nikel bila tidak mengembangkan teknologi alternatif yang ramah lingkungan," jelasnya.

Selain itu, Heru menyampaikan teknologi ekstraksi bauksit yang masih menggunakan metode Karl Joseph Bayer sejak tahun 1888, yang menghasilkan limbah B3 berupa red mud, juga memerlukan solusi teknologi baru yang lebih ramah lingkungan.

Halaman Selanjutnya

Heru menekankan, yang terpenting menjadikan komoditas unggulan sebagai keunggulan kompetitif dengan pemilihan teknologi yang tepat. Menurutnya, tenologi ekstraksi nikel menggunakan high pressure acid leaching (HPAL) yang banyak digunakan kini dikritisi karena limbah B3 nya yang jauh melebihi jumlah bahan baku.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |