TBC jadi Beban Kesehatan Nasional, DPR: Perlu Perkuat Kerja Lintas Sektor, Tingkatkan Deteksi Dini

1 day ago 5

Selasa, 3 Juni 2025 - 16:05 WIB

Jakarta, VIVA - Penyakit tuberkulosis (TBC) dinilai masih jadi ancaman serius bagi kesehatan nasional. Kondisi itu memprihatinkan karena RI sudah melalukan berbagai upaya tapi masih jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengakhiri epidemi TBC pada 2030.

Demikian disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ranny Fahd Arafiq. Ia bilang penyakit TBC masih jadi beban kesehatan nasional. 

"Meskipun kita telah mencatat kemajuan dalam pengelolaan TBC, target WHO untuk menurunkan angka kejadian menjadi kurang dari 55 kasus per 100.000 penduduk pada 2025 masih sulit dicapai," kata Ranny, dalam keteranganya, Selasa, 3 Juni 2025. 

Menurut Ranny, pihak terkait mesti perkuat kerja lintas sektor. "Kita perlu memperkuat kerja lintas sektor, meningkatkan deteksi dini. Dan, memastikan pengobatan yang terjangkau dan efektif,” jelas Ranny.

BCF dan Kadin Indonesia Ajak Perguruan Tinggi serta Mahasiswa Peduli TBC

Berdasarkan data WHO Global Tuberculosis Report 2020, RI menempati peringkat kedua tertinggi di dunia dalam jumlah kasus TBC. Data itu dengan estimasi 301 kasus per 100.000 penduduk pada 2020. 

Pun, beberapa daerah seperti Jakarta, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua, melaporkan angka kejadian di atas 250 kasus per 100.000 penduduk. Lalu, tingkat keberhasilan pengobatan mengalami peningkatan dari 84,60% pada 2017 menjadi 86,51% pada 2019, angka kematian tetap stagnan di kisaran 3,05–3,15%.

Lebih lanjut, Ranny menuturkan dampak pandemi COVID-19 ikut memperburuk penanggulangan TBC. Ia mengatakan dampak pandemi itu membuat program pengendalian terganggu. Hal itu terutama di daerah dengan sistem kesehatan yang lemah seperti daerah Kabupaten Mimika, Papua Tengah.

"Misalnya, di Mimika, Papua, terjadi penurunan deteksi kasus dan efektivitas pengobatan,” jelas legislator dari Dapil Jawa Barat VI itu.

Ranny menekankan pentingnya pendekatan komprehensif dalam penanganan TBC. Ikhtiar termasuk mendukung kampanye nasional Temukan, Obati, Sembuhkan TBC atau TOSS TBC. 

Namun, ia mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan  atau Kemenkes yang menunjukkan komitmen politik tinggi. Upaya Kemenkes itu salah satunya dengan menjadi co-chair dalam pertemuan WHO Asia Tenggara tahun 2022.

Lebih lanjut, dia juga menyuarakan kerja sama yang lebih erat antar pemangku kepentingan. Ia menekankan jangan biarkan satu warga pun kehilangan nyawa atau masa depan karena TBC. 

"Ini bukan hanya isu kesehatan, tapi juga tantangan sosial dan ekonomi. Perlu sinergi nyata dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat,” tuturnya.

Menurut Ranny, penanganan TBC juga mesti diikuti dengan intensifikasi upaya di tiga sektor utama. Ketiganya itu sebagai berikut:

1. Optimalisasi Diagnosis dan Pengobatan: Mendorong penggunaan teknologi deteksi seperti Xpert testing, dan menjamin akses pengobatan dengan biaya langsung per kasus yang stabil di kisaran US$39,40–$40,40.

2. Peningkatan Kapasitas Sistem Kesehatan: Termasuk pelatihan tenaga kesehatan, desentralisasi layanan TBC, dan penguatan peran apoteker rumah sakit dalam tim multidisiplin.
    
3. Peningkatan Kesadaran Publik: Melalui kampanye seperti Gerakan Desa Siaga TBC yang diluncurkan pada Mei 2025 untuk memberdayakan komunitas dalam pencegahan penularan TBC.

Halaman Selanjutnya

Lebih lanjut, Ranny menuturkan dampak pandemi COVID-19 ikut memperburuk penanggulangan TBC. Ia mengatakan dampak pandemi itu membuat program pengendalian terganggu. Hal itu terutama di daerah dengan sistem kesehatan yang lemah seperti daerah Kabupaten Mimika, Papua Tengah.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |