Jakarta, VIVA – Dunia musik Indonesia tengah bergejolak. Tujuh pencipta lagu ternama resmi melayangkan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan ini menargetkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik serta aturan pelaksananya, Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor 27 Tahun 2025.
Para penggugat tegas menilai kedua regulasi tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, terutama terkait keberadaan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) yang dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Scroll untuk tahu lebih lanjut, yuk!
Menurut para pemohon, LMKN justru menimbulkan kekacauan masif dalam tata kelola royalti yang seharusnya dikelola secara transparan dan dikendalikan langsung oleh para pemilik hak cipta, yaitu "dari, oleh, dan untuk pencipta lagu."
Salah satu pemohon utama, Eko Saky, pencipta lagu legendaris "Jatuh Bangun," blak-blakan mengungkapkan kekecewaannya. Eko Saky menegaskan bahwa pembentukan LMKN sejak awal tidak sesuai dengan amanat UU Nomor 28 Tahun 2014.
"LMKN sejak awal sudah tidak sesuai dengan UU Hak Cipta. Maka tidak heran jika dalam perjalanannya, lembaga ini justru menimbulkan banyak persoalan dan keresahan di kalangan pencipta lagu," ujar Eko Saky saat ditemui baru-baru ini.
Eko juga menyoroti proses penunjukan komisioner LMKN yang dilakukan Kementerian Hukum secara tertutup dan terkesan mendadak, bahkan rampung dalam waktu kurang dari satu hari.
"Menteri menunjuk langsung komisioner tanpa proses yang terbuka. Lebih parah lagi, beberapa nama ternyata adalah staf khusus menteri yang kini merangkap jabatan sebagai komisioner LMKN,” ungkapnya.
Eko Saky juga merasa gerah dengan adanya indikasi tekanan dari oknum pejabat kepada LMK (Lembaga Manajemen Kolektif). Ia mempertanyakan transparansi penunjukan komisioner.
"Dengan tegas, saya mempertanyakan kehadiran sejumlah nama yang bukan dari pencita lagu atau pemusik bisa ditunjuk menjadi komisioner LMKN? Seharusnya pemerintah hadir sebagai regulator dan pengawas, bukan sekaligus menjadi pelaku. Bagaimana mungkin regulator mengawasi dirinya sendiri? Ini jelas menyalahi prinsip check and balance," kata Eko.
Para pemohon juga mengkritik Surat Edaran LMKN Nomor SE.06.LMKN.VIII-2025 yang isinya mencabut kewenangan LMK untuk menarik dan menghimpun royalti. Kebijakan ini dinilai fatal karena merusak ekosistem musik nasional dan menciptakan tiga dampak negatif:
Halaman Selanjutnya
1. Para pencipta lagu kini hidup dalam kecemasan, tidak yakin apakah royalti mereka akan diterima tahun ini.2. Hubungan antara LMK dan para pencipta menjadi renggang.3. Para pengguna lagu — mulai dari rumah karaoke, kafe, pub, promotor hingga event organizer — kini kebingungan harus berurusan dengan siapa.

5 hours ago
3









