Jakarta, VIVA – Yayasan Partisipasi Muda (YPM) bekerja sama dengan mahasiswa Program Studi Ilmu Sosiologi Universitas Mataram menggelar diskusi Academia Politica dengan tema “Wisata Toxic vs Wisata Berkelanjutan: Alam Rusak, Turis Pergi, Anak Muda Rugi?”.
Dalam diskusi tersebut, mahasiswa diajak memahami hubungan antara politik, pariwisata, dan keberlanjutan lingkungan.
Co-Founder dan Direktur Eksekutif YPM, Neildeva Despendya menilai politik seharusnya digunakan untuk memperjuangkan kebaikan masyarakat, bukan sekadar soal kekuasaan.
Ia menyoroti berbagai keputusan politik yang justru merugikan lingkungan, seperti pemberian izin tambang, deforestasi, subsidi energi fosil, hingga kebijakan iklim yang belum berpihak pada keberlanjutan. Termasuk praktik “wisata toxic” yang bisa mempercepat kerusakan alam jika tidak disertai kemauan politik yang kuat.
"Anak muda memiliki peran penting dalam mendorong perubahan politik yang berpihak pada bumi. Mereka bisa berkontribusi lewat advokasi, dialog kebijakan, atau aksi kecil di media sosial seperti membagikan kampanye lingkungan dan mengkritisi kebijakan publik. Masa depan generasi muda sangat ditentukan oleh keputusan politik hari ini,” ucap Neildeva dalam paparannya di Gedung A FHISIP Universitas Mataram, seperti dikutip Minggu, 26 Oktober 2025.
Neildeva mengingatkan, cara pandang kapitalistik sering membuat masyarakat lupa pada nilai kebersamaan dan kesadaran lingkungan. Maka itu, dia mengajak anak muda NTB untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan iklim dan politik publik melalui kampanye di sosial media dengan tagar #PartisipasiUntukBumi.
Sementara itu, peneliti lembaga riset SORCE, Raja Aditya Sahala membahas dampak perubahan iklim terhadap terumbu karang dan pariwisata. Ia menyebut Indonesia memiliki keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia, namun sekitar 36 persen di antaranya sudah rusak, termasuk di pesisir Bangko-Bangko, Lombok Barat.
"Kerusakan ini disebabkan oleh naiknya suhu laut, deforestasi mangrove, dan penggunaan energi batu bara yang masih mendominasi," kata Raja.
Menurut dia, terumbu karang tidak hanya penting bagi ekosistem laut, tetapi juga menopang ekonomi pesisir dan pariwisata. Ia pun menekankan pentingnya konservasi berbasis komunitas melalui edukasi, restorasi, dan aksi bersih pantai.
"Menjaga terumbu karang berarti menjaga masa depan laut dan kehidupan masyarakat pesisir,” tegasnya.
Halaman Selanjutnya
Kemudian, Badan Pemuda Adat Nusantara NTB, Lalu Kesuma Jayadi menyoroti peran masyarakat adat dalam menjaga lingkungan. Ia menjelaskan, masyarakat adat Sasak memiliki kearifan ekologis yang tinggi, seperti aturan adat dalam menebang pohon dan tradisi Rebo Bontong yang memberi waktu laut untuk “bernapas”.

3 hours ago
1









