Jakarta, VIVA – Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan), Kolonel Sus Prof Dr Drs Mhd. Halkis MH, mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
UU tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi dan membatasi hak prajurit sebagai warga negara.
"Uji materi UU TNI diajukan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan mengekang hak prajurit sebagai warga negara," kata Mhd Halkis dalam keterangan yang dikutip Antara.
Pengajuan uji materi ini didaftarkan oleh kuasa hukumnya, Izmi Waldani dan Bagas Al Kautsar, dengan Nomor Registrasi 41/PAN.ONLINE/2025.
Kritik terhadap Definisi Profesionalisme Tentara
Salah satu poin krusial yang dipersoalkan adalah Pasal 2 huruf d UU TNI, yang mendefinisikan tentara profesional sebagai prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.
Halkis menilai definisi tersebut tidak tepat karena menggunakan pendekatan negatif. Alih-alih menjelaskan profesionalisme militer secara positif, pasal tersebut hanya merinci larangan-larangan bagi prajurit.
VIVA Militer: Prajurit TNI AU lakukan pengamanan aksi masa di Maluku Tenggara
"Tentara profesional harus dimaknai sebagai prajurit yang netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak dalam aspek ekonomi serta jabatan publik," jelasnya.
Larangan Berbisnis Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi
Pasal 39 ayat (3) UU TNI yang melarang prajurit untuk berbisnis juga menjadi sorotan. Halkis menilai aturan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Sebagai perbandingan, ia menyebut di Amerika Serikat dan Jerman, prajurit diperbolehkan memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan ketat.
Di Indonesia, prajurit dilarang berbisnis, padahal menurut Halkis, kesejahteraan mereka masih jauh dari ideal. Jika larangan ini tetap ada, negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang layak, baik saat bertugas maupun setelah pensiun
Pembatasan Jabatan Sipil bagi Prajurit TNI
Halkis juga menggugat Pasal 47 ayat (2) UU TNI, yang membatasi prajurit aktif hanya bisa menduduki jabatan sipil di tujuh instansi, seperti Kemenko Polhukam, BIN, Lemhannas, dan BNN.
Menurutnya, aturan ini tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yang menjamin hak warga negara atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
"Banyak jabatan sipil yang memerlukan keahlian teknokratis dari prajurit TNI, seperti di Kementerian Pendidikan atau Kementerian Luar Negeri, namun aturan ini membatasi kesempatan bagi mereka yang memiliki kompetensi di luar tujuh instansi tersebut," katanya.
Implikasi Jika Uji Materi Dikabulkan
Jika MK mengabulkan permohonan ini, beberapa perubahan besar dapat terjadi. Konsep profesionalisme militer akan lebih jelas dan berbasis keadilan konstitusional. Hak ekonomi prajurit bisa lebih fleksibel dengan sistem pengawasan ketat atau negara wajib meningkatkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, prajurit TNI akan memiliki kesempatan karier lebih luas, termasuk menduduki jabatan sipil berdasarkan kompetensi, bukan sekadar alokasi di tujuh instansi tertentu.
"Reformasi UU TNI melalui keputusan MK diyakini dapat menjadi dasar untuk merevisi UU TNI agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman, sekaligus menjadi preseden penting bagi reformasi ketatanegaraan di Indonesia," beber Halkis.
Halaman Selanjutnya
"Tentara profesional harus dimaknai sebagai prajurit yang netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak dalam aspek ekonomi serta jabatan publik," jelasnya.