Jakarta, VIVA – Pembatasan zona berjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, dinilai tidak efektif.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menegaskan, alih-alih melalui pendekatan dan aturan restriktif, kampanye edukasi dianggap sebagai upaya yang lebih konkret untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia.
"Pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan yang lebih utuh, seperti mendorong upaya edukasi dibandingkan dengan pembatasan yang terlalu ketat," kata Henry dalam keterangannya, Selasa, 8 April 2025.
Rak rokok di minimarket (foto ilustrasi)
Photo :
- VIVAnews/Arrijal Rachman
Menurutnya, edukasi yang tepat dapat memberi dampak positif yang lebih luas, karena tidak hanya mengatasi gejala-gejala yang dapat timbul. Melainkan juga dapat membangun kesadaran risiko akibat merokok. Henry memastikan, komitmen edukasi semacam itu sebenarnya juga sudah dijalankan oleh para perusahaan dengan patuh, bahkan sejak peraturan sebelumnya yakni PP Nomor 109 Tahun 2012 diberlakukan.
"Kepatuhan terhadap aturan itu menunjukkan bagian dari komitmen edukasi soal risiko merokok. Ditambah lagi, saat ini kami melakukan edukasi serta pemasangan stiker 21+ di warung atau toko penjual rokok secara masif," ujarnya.
Namun, Henry juga menekankan bahwa dalam menjalankan edukasi pun perlu melibatkan institusi seperti para pengajar di satuan pendidikan. Upaya ini dinilai perlu dilakukan untuk pemahaman akan risiko merokok pada anak di bawah umur 21 tahun.
"Dengan pendekatan yang komprehensif, kami percaya bahwa upaya menekan prevalensi perokok dapat dilakukan tanpa mengorbankan nasib para pedagang," kata Henry.
Meskipun ia juga mengaku menyayangkan kenyataan yang terjadi saat ini, di mana Kementerian Kesehatan justru gencar mendorong aturan pelarangan dan pembatasan penjualan rokok. Misalnya melalui pengaturan terkait larangan penjualan 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Dimana aturan ini justru membuat pelaku usaha kebingungan dan berpotensi mengganggu kelangsungan usaha.
Henry juga mengatakan, aturan ini akan berdampak luas pada ekosistem industri hasil tembakau (IHT) yang telah terbangun selama puluhan tahun. Menurutnya, banyak tempat penjualan yang menyatu dengan satuan pendidikan seperti di mall tiba-tiba harus berubah, dan ini akan menimbulkan gejolak ekonomi di sekitarnya.
Karenanya, Henry pun berharap adanya dialog yang terbuka dengan melibatkan semua pihak, termasuk asosiasi industri, pedagang, dan petani dalam pembuatan kebijakan. Hal ini dinilai sangat penting untuk memastikan bahwa regulasi yang diterapkan tidak merugikan pihak yang menjadi objek pengaturan.
"Kami meminta pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pengaturan tersebut," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
"Dengan pendekatan yang komprehensif, kami percaya bahwa upaya menekan prevalensi perokok dapat dilakukan tanpa mengorbankan nasib para pedagang," kata Henry.