VIVA – Dalam upaya global untuk mendorong transformasi energi yang lebih bersih, kawasan Asia-Pasifik termasuk Indonesia menghadapi tantangan kompleks: bagaimana menyediakan energi rendah emisi, andal, dan terjangkau.
Dalam konteks ini, gas alam tidak lagi dipandang sebagai solusi sementara, melainkan sebagai bagian dari strategi utama transisi energi. Gas tidak hadir untuk bersaing dengan energi baru dan terbarukan (EBT), tetapi untuk melengkapinya.
Dengan keunggulan fleksibilitas operasional, waktu implementasi yang relatif cepat, serta infrastruktur yang dapat disesuaikan dengan teknologi masa depan, gas memiliki karakter strategis sebagai pendukung sistem energi nasional yang terus bertransformasi.
Indonesia telah menetapkan target jangka panjang untuk mencapai net zero emission antara tahun 2050 hingga 2060. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Dengan fleksibilitas, kecepatan implementasi, dan dukungan teknologi rendah karbon, gas alam telah terbukti menjadi mitra penting bagi energi terbarukan. Indonesia berada dalam posisi unik untuk menjembatani kebutuhan akan energi bersih sambil mengatasi tantangan keterjangkauan dan keandalan di kawasan ini.
Komitmen ini dirancang agar tetap sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan perluasan akses energi yang merata ke seluruh wilayah, termasuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,2 GW melalui proses optimalisasi. Sekitar 42 GW atau 61% dari tambahan tersebut diproyeksikan berasal dari sumber terbarukan seperti surya, angin, air, panas bumi, dan bioenergi.
Kontribusi pembangkit listrik berbasis gas akan dikurangi dari 15,2 GW menjadi 10,3 GW, sementara sistem penyimpanan energi baterai (BESS) akan ditingkatkan dari 4,6 GW menjadi 6,0 GW untuk mendukung fleksibilitas dan keandalan sistem.
Saat ini, bauran energi terbarukan telah mencapai 14,5% pada tahun 2024—sebuah capaian progresif yang menunjukkan arah kebijakan yang konsisten.
Target peningkatan menjadi 23% pada 2025 dan 31%–35% pada 2030 akan terus dikejar melalui kombinasi kebijakan adaptif, insentif, dan strategi investasi.
Ilustrasi pengelolaan energi.
Gas Alam: Solusi Praktis, Mendukung Keandalan
Program konversi penggunaan HSD di 41 pembangkit berbasis gas yang dimulai pada Maret 2025 merupakan langkah konkret yang menunjukkan bagaimana gas dapat memperkuat sistem energi nasional.
Dengan efisiensi biaya yang lebih baik dan waktu pembangunan yang lebih singkat dibandingkan proyek energi terbarukan skala besar, program ini mampu menutup kesenjangan pasokan, terutama di wilayah dengan akses energi terbatas.
Selanjutnya, pembangkit tambahan baru akan dibangun berdasarkan ketersediaan pasokan dan infrastruktur gas.
Selain itu, infrastruktur gas yang saat ini sedang dibangun—seperti FSRU dan jaringan pipa gas—dipersiapkan dengan visi jangka panjang, agar kompatibel dengan teknologi hidrogen dan CCS.
Dengan kata lain, gas tidak hanya menjadi bagian dari solusi jangka menengah, tetapi juga dirancang untuk mendukung dan mengiringi transisi penuh menuju sistem energi bersih.
Teknologi Rendah Karbon: Evolusi Gas Menuju Energi Masa Depan
Pemanfaatan gas kini berada dalam fase transformasi. Narasi lama yang menyamakan gas dengan bahan bakar fosil konvensional tidak lagi mencerminkan kemajuan teknologi saat ini.
Berbagai negara di kawasan telah mulai menerapkan teknologi rendah karbon untuk gas, termasuk bio-LNG, sistem pemantauan digital kebocoran metana, dan integrasi pipa yang siap hidrogen.
Indonesia juga berada di jalur yang sama. Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 menjadi landasan hukum penting bagi pengembangan fasilitas penyimpanan karbon lintas batas.
Inisiatif seperti proyek Tangguh CCUS (BP) dan Sunda-Asri CCS Hub (Pertamina–ExxonMobil) adalah bukti bahwa Indonesia bukan sekadar pengikut tren, melainkan juga turut membentuk masa depan energi rendah karbon.
Model Hibrida: Menggabungkan Keandalan dan Keberlanjutan
Transisi energi masa depan memerlukan pendekatan yang tidak hanya idealistik, tetapi juga realistis. Model hibrida—yang menggabungkan pembangkit berbasis gas, energi terbarukan seperti PLTS, dan penyimpanan baterai—telah diterapkan di berbagai negara sebagai solusi untuk sistem energi yang tangguh, adaptif, dan berkelanjutan.
Indonesia telah mengadopsi pendekatan ini melalui berbagai proyek strategis seperti FSRU Jawa Satu, program dedieselisasi, program gasifikasi, dan rencana integrasi baterai dalam sistem EBT.
Strategi ini lahir dari pemahaman atas kondisi geografis dan sosial-ekonomi nasional, sehingga dapat mewujudkan sistem energi inklusif berbasis keadilan energi.
Kolaborasi Kawasan: Menuju Transisi yang Adil dan Inklusif
Sebagai negara dengan posisi strategis di kawasan, Indonesia juga mendorong pendekatan kolaboratif dalam transisi energi. Melalui sinergi antara gas dan energi terbarukan, kawasan Asia-Pasifik memiliki peluang besar untuk mempercepat pencapaian target net zero, tanpa mengorbankan keandalan pasokan atau keterjangkauan.
Ajakan ini bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga soal kepercayaan, semangat belajar bersama, dan tekad membangun masa depan energi yang tidak meninggalkan siapa pun.
“Kebutuhan energi nasional tidak bisa ditunda, sementara transisi ke energi terbarukan tidak bisa dipercepat tanpa fondasi kuat. Di tengah pertumbuhan industri, lonjakan permintaan listrik, dan komitmen target net zero, gas adalah satu-satunya energi yang mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek sekaligus mendukung keberlanjutan jangka panjang,” ujar Aris Mulya Azof, Ketua Indonesia Gas Society.
“Tantangannya bukan hanya soal pasokan, tetapi bagaimana kita membangun infrastruktur, menghubungkan cadangan di wilayah terpencil ke pusat permintaan, dan menciptakan ekosistem kebijakan yang memungkinkan gas memainkan perannya secara maksimal dalam perjalanan menuju net zero.” jelasnya.
Inilah peran sentral IndoGAS 2025: sebagai forum strategis yang mempertemukan pemangku kepentingan lintas sektor, memperkuat narasi bahwa gas adalah pilar yang tak terpisahkan dari transisi.
Di tengah urgensi pencapaian dekarbonisasi secara adil dan realistis, IndoGAS 2025 menjadi ruang untuk memperluas kolaborasi, mempercepat adopsi teknologi rendah karbon, dan menjadikan gas sebagai fondasi transformasi energi yang relevan bagi Indonesia dan kawasan.
Halaman Selanjutnya
Kontribusi pembangkit listrik berbasis gas akan dikurangi dari 15,2 GW menjadi 10,3 GW, sementara sistem penyimpanan energi baterai (BESS) akan ditingkatkan dari 4,6 GW menjadi 6,0 GW untuk mendukung fleksibilitas dan keandalan sistem.