Ekonom Ingatkan soal Jatuh Tempo Utang Pemerintah Era COVID-19 dan Ancaman Krisis Finansial

3 hours ago 1

Kamis, 13 Februari 2025 - 15:44 WIB

Jakarta, VIVAEkonom sekaligus Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Raden Pardede, mengingatkan soal besarnya utang pemerintah akibat ekspansi fiskal saat menghadapi COVID-19 di awal tahun 2020. Utang tersebut akan mulai jatuh tempo tahun ini dengan jumlah yang besar.

Hal itu diutarakan Raden di acara diskusi 'Menggali Sumber Ekonomi Potensial Menuju Pertumbuhan 8 Persen', yang digelar di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Raden mengatakan, fenomena jatuh tempo utang di era COVID-19 itu juga dialami oleh negara-negara maju maupun berkembang. Karena, umumnya negara-negara tersebut ramai-ramai mengeluarkan surat utang saat masa COVID-19, guna membantu rakyatnya mengurangi beban ekonomi akibat pandemi kala itu.

"Tapi kan utang itu suatu saat harus dibayar, dan dia mature (jatuh tempo) mulai tahun 2025, 2026, 2027. Tentu tiap negara berbeda-beda polanya, tapi yang cukup banyak adalah di tahun 2025," kata Raden, Kamis, 13 Februari 2025.

Ilustrasi utang.

Photo :

  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Pemerintah dikabarkan akan menukar utang Surat Berharga Negara pembiayaan pandemi COVID-19 sebesar Rp 100 triliun, yang jatuh tempo pada tahun 2025. Utang tersebut merupakan hasil dari burden sharing antara pemerintah dan BI, sebagai pembiayaan penanganan pandemi COVID-19.

Langkah ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengelola pembiayaan utang, di tengah masih tingginya ketidakpastian global. Terkait dengan kondisi tersebut, Raden pun mengungkapkan kekhawatiran para pelaku sektor finansial, utamanya dalam hal melakukan refinancing.

"Pada saat itu jatuh tempo, persoalan teman-teman di sektor finansial adalah soal bagaimana refinancing-nya? Apakah nanti yang dulunya saya memegang surat utang pemerintah A, B atau C, apakah saya akan tetap megang itu atau saya harus merealokasikan kemana," ujarnya.

Dia memastikan, upaya refinancing itu biasanya akan dilakukan oleh para pelaku sektor finansial, yang akan memilih-milih instrumen berdasarkan risiko dan return-nya. Karenanya, Raden berpendapat bahwa hal itu nantinya juga berpotensi memutar keadaan menjadi lebih cepat memburuk, yang bisa berimbas pada suatu negara hingga merembet ke negara-negara lainnya dalam bentuk krisis finansial.

"Kalau terjadi nanti ada default suatu negara, eh jangan-jangan negara lain juga seperti itu. Karena tipikal krisis financial begitu. Saya menyatakan itu bukan untuk menakut-nakuti, tapi agar kita antisipasi dan mitigasi," kata Raden.

"AS-China akan terus menjadi persoalan. Artinya, dua negara ini akan terus saling menantang. Mungkin saya enggak tahu 10-20 tahun ke depan persoalan antara the rising power dan the existing power akan terus berlanjut. Jadi kita sudah akan harus terbiasa dengan keadaan ini," ujarnya.

Halaman Selanjutnya

"Pada saat itu jatuh tempo, persoalan teman-teman di sektor finansial adalah soal bagaimana refinancing-nya? Apakah nanti yang dulunya saya memegang surat utang pemerintah A, B atau C, apakah saya akan tetap megang itu atau saya harus merealokasikan kemana," ujarnya.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |