Gubernur Jabar Dedi Mulyadi: Beras Tidak Boleh Diperjualbelikan

3 hours ago 1

Senin, 10 Maret 2025 - 15:53 WIB

Bogor, VIVA – Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, menjelaskan konsep hidup masyarakat Sunda yang berlandaskan gotong royong dan pemanfaatan sumber daya secara kolektif.

Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa dalam budaya Sunda, segala sesuatu yang berada di alam dianggap sebagai titipan. Oleh karena itu, tugas utama manusia adalah mengelola dan memanfaatkannya bersama-sama.

“Sistem hidup orang Sunda itu tidak ada hak personal, yang ada hak komunal. Jadi, apa yang ada di alam ini titipan. Karena titipan, maka tugasnya hanya menggarap, setelah digarap disimpan di lumbung kemudian digunakan secara bersama-sama. Nanamnya bareng, metiknya bareng untuk kemudian digunakan bersama-sama,” ujar Dedi dalam di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dilihat Senin, 10 Maret 2025.

Menurutnya, konsep ini mencerminkan nilai gotong royong yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sunda. Dalam praktiknya, hasil panen bukan hanya untuk kepentingan individu, melainkan harus dikelola dan dibagikan agar kesejahteraan bersama tetap terjaga.

Lebih lanjut, Dedi menyoroti pentingnya peran negara dalam menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat. Ia menyebut bahwa dalam tradisi Sunda, membeli gabah atau beras adalah hal yang pamali atau terlarang, bahkan dianggap haram.

“Negara ini harus mengadopsi hal ini, menurut orang Sunda, pamali membeli gabah, bahasa agamanya haram. Bagi mereka itu sakral. Beras itu tidak boleh diperjualbelikan, itu hak pokok yang harus dilindungi oleh adat,” kata dia. 

“Dalam konteks masyarakat kita sekarang, negara harus membeli gabah kemudian disimpan di gudang Bulog dan digunakan oleh masyarakat. Tidak boleh ada jual beli beras. Beras disediakan oleh negara untuk kepentingan masyarakat,” jelasnya.

Dedi menekankan bahwa beras sebagai kebutuhan pokok seharusnya tidak menjadi komoditas yang diperjualbelikan bebas. Sebaliknya, negara harus mengambil peran utama dalam memastikan distribusi beras yang adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, stabilitas pangan dapat terjaga dan masyarakat tidak terbebani oleh fluktuasi harga yang seringkali merugikan mereka yang berpenghasilan rendah.

Dalam pernyataannya, Dedi juga menyoroti ketimpangan yang terjadi akibat perbedaan daya beli masyarakat dalam mengakses beras berkualitas. Ia menegaskan bahwa dalam sistem yang ideal, harus ada standarisasi harga beras yang mempertimbangkan tingkat ekonomi masyarakat.

“Itu yang dimaksud, sehingga di aspek beras ini harus ada tingkatan beras dong. Orang yang penghasilannya sebulan Rp100 juta, beli berasnya sama dengan tukang becak Rp15 ribu sekilo,” ungkapnya.

Halaman Selanjutnya

“Dalam konteks masyarakat kita sekarang, negara harus membeli gabah kemudian disimpan di gudang Bulog dan digunakan oleh masyarakat. Tidak boleh ada jual beli beras. Beras disediakan oleh negara untuk kepentingan masyarakat,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |