VIVA – Kapal induk tenaga nuklir militer Amerika Serikat (AS), USS Carl Vinson (CVN-70) dikabarkan telah tiba di perairan Timur Tengah, Kamis 10 April 2025.
Armada tempur tersebut adalah yang kedua setelah kapal induk nuklir lainnya, USS Harry S. Truman (CVN-75) lebih dahulu dikerahkan.
Kabar kedatangan USS Carl Vinson disampaikan langsung oleh Komando Pusat Amerika Serikat (US Central Command), lewat akun X (Twitter) resminya.
Diperkuat oleh lusinan jet tempur siluman Lockheed Martin F-35 Lightning II, armada kapal induk nuklir Amerika Serikat akan menjadi ujung tombang dalam serangan terhadap milisi Houthi (Ansar Allah) yang berbasis di Yaman.
VIVA Militer: Milisi Houthi Yaman
Photo :
- Reuters/Khaled Abdullah
"USS Carl Vinson yang dipersenjatai dengan pesawat tempur siluman F-35C. Saat ini (akan) bekerja bersama USS Harry S. Truman di wilayah tersebut," bunyi pernyataan Komando Pusat Amerika Serikat.
Pekan lalu, Departemen Pertahanan AS telah mengumumkan rencana penambahan jumlah kelompok tempur kapal induk di Timur Tengah.
Pernyataan tersebut disampaikan Pentagon, beberapa saat setelah kampanye serangan udara terbaru militer Amerika Serikat.
Targetnya adalah kelompok pimpinan Abdul Malik Al-Houthi, yang disokong oleh Iran, Maret 2025 lalu.
VIVA Militer: Kapal induk USS Harry S. Truman (CVN-75) militer Amerika Serikat
Tindakan militer Amerika Serikat adalah upaya untuk mengamankan perairan Timur Tengah, khususnya Laut Merah, dari serangan konsistenn yang dilancarkan Houthi terhadap kapal komersial dan militer.
Seperti yang diketahui, milisi Houthi melancarkan serangan tak pandan bulu terhadap kapal-kapal asing yang berafiliasi dengan AS dan Israel, yang melintas di Laut Merah sejak 2023 lalu.
Aksi Houthi diklaim adalah bentuk solidaritas dan respons terhadap agresi militer Israel di Jalur Gaza, Palestina.
Dalam laporan yang dilansir VIVA Militer dari Agence-France Presse (AFP), seorang pejabat Departemen Pertahanan AS, menyebut jika pasukan AS setidaknya telah membombardir lebih dari 100 target Houthi.
Halaman Selanjutnya
Pernyataan tersebut disampaikan Pentagon, beberapa saat setelah kampanye serangan udara terbaru militer Amerika Serikat.