KH Ma’ruf Amin Minta Para Kiai Ikut Berpolitik, Ini Alasannya

3 hours ago 1

Depok, VIVA – Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH. Ma'ruf Amin meminta agar keberadaan para Kiai di Indonesia bisa memberikan warna Allah dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, Ma’ruf mengimbau agar para kiai ikut berpolitik. Dia menekankan pentingnya peranan kiai dalam berpolitik.

“Kiai kok diberi warna, diwarnai orang. Kiai harus memberi warna dengan warna Allah, warna iman, warna syariah, melalui dakwah, pendidikan, ekonomi, apalagi pemberi warna politik. Tapi politik juga iya, karena segala keputusan penting di negeri ini, warnanya seperti Allah, pendidikannya, ekonominya, sosialnya, kebudayannya semua diputuskan oleh keputusan politik di DPR. Keputusan politik, bahwa siapa yang jadi presiden, siapa yang jadi wali kota, wakil wali kota keputusan politik,” kata Ma'ruf saat acara Halaqah Kebangsaan 'Membumikan Politik Kyai di Kota Depok' di Depok pada Minggu 16 Maret 2025.

Mantan Wakil Presiden Indonesia ke-13 itu menuturkan, tugas kiai yang dia ketahui  adalah memberi warna Allah, bukan sebaliknya. Dikatakan, saat kiai tidak ikut dalam mengambil keputusan politik, maka warna keputusannya tidak ada warna kiai. Karena itu, lanjut Ma'ruf Amin, kiai sejak dulu mengambil peran politik, baik para muasis atau pendiri NU. Dia menampik perkataan orang yang menyebut NU tidak terkait dengan kegiatan politik.

“Tidak ada sirah kiai-nya, kalau tidak ada sirah kiai-nya, maka warnanya bukan warnanya kiai. Kalau bukan warna kiai berarti warna apa, sirah bahlulilah, bahlul. Karena itu kiai harus mengambil peran politik, maka bisa memberi warna politik dalam setiap keputusan di negeri ini. Hadratus Hasyim Asya'ri, Hadratus Wahab Hasbullah, Hadratus Shihab Rizik tidak pernah meninggalkan politik praktis dari awal republik,” ujarnya.

Ma’ruf Amin menuturkan, pada masa awal Republik Indonesia berdiri memang NU tidak mengambil politik dan dititipkan ke Masyumi, namun ketika Masyumi kerjasamanya tidak baik. Mereka (Masyumi) jadi kusirnya, NU jadi kudanya.

“Akhirnya NU tidak mau menjadi kuda terus dan akhirnya pisah membuat partai sendiri namanya Partai Nahdlatul Ulama tahun 1952, kemudian pada tahun 1955 NU (ikut) pemilu, (sebagai) partai sampai 1973,” tukasnya.

Pada 1971, Ma'ruf Amin mengaku sudah ikut partai dan di tahun yang sama, dia menjadi anggota DPRD DKI Jakarta. Saat itu usianya belum genap 30 tahun dan menjadi anggota termuda. Ma’ruf menjadi Ketua Fraksi Golongan Islam saat Gubernur Ali Sadikin. Kemudian pada 1973 NU melebur karena ada Undang-Undang dan dipaksa bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), di sana pun terjadi konflik.

“Tapi bukan oleh sesama partai, tapi sama pemerintah. Sehingga NU dalam keadaan tidak diberi peran. Mulai 1984 NU melepaskan diri dari partai politik sampai 1998,” ceritanya.

NU sempat tidak berpolitik selama 14 tahun. Hingga akhirnya tahun 1998 Rais Syuriah mengambil inisiatif lahirnya PKB dan Ma’ruf Amin menjadi Ketua Dewan Syuro PKB. Selang setahun berdiri, PKB ikut pemilu 1999 dan berhasil masuk 3 besar. Ma’ruf mengatakan, hal itu bisa terjadi karena pertolongan Allah.

“Saya bilang waktu itu bukan PKB hebat, tapi ada inayah rabbaniyah pertolongan Allah, kalau bukan pertolongan Allah, partai baru, nomor 3, jadi presiden, tidak punya duit, cuma punya semangat saja,” kenangnya.

Ma'ruf Amin menjelaskan saat Gus Dur selesai menjabat sebagai presiden, kembali lagi menjadi Ketua Dewan Syuro PKB, dan dia kembali ke PBNI sampai akhirnya menjadi Wakil Presiden.

“Jadi PKB didirikan sebagai wadah gerakan politik kiai, jadi PKB dirikan sebagai gerakan politik kiai, bukan kiai politik, kalau kiai politik itu kiai ikut politik, tapi politik kiai, politik ikut kiai, ikut pemikirannya kiai,” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya

“Tapi bukan oleh sesama partai, tapi sama pemerintah. Sehingga NU dalam keadaan tidak diberi peran. Mulai 1984 NU melepaskan diri dari partai politik sampai 1998,” ceritanya.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |