Jakarta, VIVA — Banyak orang ingin menjadi kaya, namun tidak semua memahami dengan tepat makna dari kaya itu sendiri. Dalam buku berjudul The Psychology of Money, Morgan Housel menjelaskan perbedaan antara kaya (rich) dan sejahtera (wealth).
Buku karya Housel acap kali menjadi referensi dalam diskusi seputar perilaku keuangan, termasuk dalam sesi coaching finansial pribadi oleh para edukator konsumen. Di samping buku populer karya Robert Kiyosaki berjudul Rich Dad Poor Dad.
Salah satu kutipan yang mencolok dalam buku ini adalah "Ketika orang berkata ingin menjadi jutawan, yang sebenarnya mereka maksud adalah ‘Saya ingin menghabiskan satu juta dolar’. Dan itu adalah kebalikan dari menjadi jutawan.” Artinya, kekayaan sejati bukanlah apa yang terlihat melainkan uang yang tidak dibelanjakan.
Menurut Housel, kekayaan (wealth) adalah aset keuangan yang belum dikonversi menjadi barang konsumtif, seperti mobil, pakaian, atau barang mewah. Sebaliknya, kaya (rich) hanya mencerminkan pendapatan saat ini.
Dengan kata lain, menjadi sejahtera berarti memiliki uang atau simpanan yang tidak dihabiskan dalam jangka panjang. Fenomena ini diamini oleh edukator keluarga dan konsumen yang menyoroti kebiasaan masyarakat dalam memperkirakan pendapatan dan pengeluaran.
“Banyak orang melebih-lebihkan penghasilan mereka dan meremehkan seberapa banyak yang mereka belanjakan,” ujar Housel yang dikutip dari Coshocton Tribune pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Ia membandingkan hal tersebut dengan pola konsumsi kalori yang dilakukan mayoritas penduduk Amerika Serikat (AS). Warga AS sering mengira telah membakar banyak kalori dan meremehkan kandungan kalori dalam makanan. Faktanya, mereka hanya menghilangkan sedikit kalori dari jumlah yang masuk ke dalam tubuh.
Pemikiran serupa juga terjadi dalam pengelolaan keuangan sehari-hari. Banyak orang merasa penghasilannya tinggi, tapi lupa menghitung pengeluaran harian. Akibatnya, budaya menabung dan hidup hemat (frugal living) musnah karena gaya hidup.
Ironisnya, survei tahun 2019 terhadap 150.000 orang di 140 negara menunjukkan bahwa warga AS meski hidup di negara terkaya di dunia merasa lebih stres dan khawatir dibandingkan negara lain. Hal ini karena pengelolaan waktu (time management) yang tidak baik.
"Penelitian menunjukkan memiliki kendali atas waktu, mulai dari melakukan apa yang kita mau, kapan kita mau, dengan siapa kita mau, adalah variabel gaya hidup yang membuat orang paling bahagia,” tulis Housel.
Pernyataan ini menunjukkan pentingnya kemampuan mengendalikan waktu untuk memperoleh manfaat maksimal dari uang yang Anda miliki. Pandangan ini diperkuat oleh penelitian gerontolog Karl Pillemer yang mewawancarai 1.000 lansia AS.
Hasilnya, mayoritas lansia tidak menyarankan untuk bekerja keras demi membeli barang-barang mewah. Hal yang dianggap penting justru waktu berkualitas dengan keluarga, kebersamaan, dan hidup yang bermakna.
Halaman Selanjutnya
Ia membandingkan hal tersebut dengan pola konsumsi kalori yang dilakukan mayoritas penduduk Amerika Serikat (AS). Warga AS sering mengira telah membakar banyak kalori dan meremehkan kandungan kalori dalam makanan. Faktanya, mereka hanya menghilangkan sedikit kalori dari jumlah yang masuk ke dalam tubuh.