VIVA – Di tengah meningkatnya kekhawatiran atas penyempitan ruang kebebasan di Indonesia, sejumlah akademisi dan peneliti muda menyerukan pentingnya menjaga ruang sipil agar tetap terbuka bagi masyarakat, khususnya generasi muda.
Peneliti bidang demokrasi dan kebebasan berpendapat dari Yayasan Partisipasi Muda (YPM), Neildeva Despendya, menekankan bahwa ruang sipil merupakan elemen krusial dalam kehidupan demokratis. Mengutip pemikiran Jürgen Habermas, ia mengingatkan bahwa ruang publik seharusnya menjamin kebebasan berpendapat.
“Ruang sipil yang sehat memungkinkan masyarakat mengekspresikan ide, mengkritik kebijakan, dan berpartisipasi dalam politik,” kata Neil, seperti dikutip dari siaran pers, Rabu 22 Oktober 2025.
Neil juga menyoroti laporan CIVICUS Monitor yang menempatkan Indonesia dengan skor 48 dari 100 dalam indeks kebebasan sipil dunia. Angka ini, menurutnya, menunjukkan tanda-tanda kemunduran demokrasi. Ia memperingatkan bahwa penyempitan ruang sipil tidak hanya menghambat partisipasi publik, tetapi juga dapat mematikan semangat inovasi di kalangan muda.
“Ketika masyarakat tidak merasa aman untuk berbicara, demokrasi kehilangan daya hidupnya,” ujarnya.
Pandangan senada disampaikan oleh Muhammad Fajar, PhD, peneliti muda dari Northwestern University, yang bersama timnya melakukan riset berjudul Understanding Youth Engagement and Civic Space in Indonesia.
Melibatkan 505 responden berusia 18–25 tahun, hasil penelitian tersebut menunjukkan 73,9 persen anak muda merasa takut menyampaikan pendapat di ruang publik, dan 42 persen menilai pemerintah belum cukup melindungi hak-hak sipil warga negara.
“Faktor sosial-ekonomi dan pendidikan sangat memengaruhi tingkat keberanian. Kelompok menengah atas cenderung lebih kritis, sementara kelompok bawah lebih berhati-hati,” ujar Fajar.
Ia juga menyinggung fenomena democratic burnout atau kelelahan kolektif yang dialami banyak anak muda akibat represi dan ketimpangan sosial.
“Banyak anak muda merasa perjuangannya tak membawa perubahan nyata,” imbuhnya.
Sementara itu, Rahardhika Utama, PhD, menambahkan bahwa hambatan terbesar bagi generasi muda dalam berpartisipasi bukan hanya keterbatasan ruang, melainkan juga risiko hukum, ancaman keamanan digital, serta lemahnya lembaga pelindung sipil.
Menutup diskusi, Muhammad Imam, dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, menilai bahwa Indonesia tengah mengalami regresi demokrasi akibat kebijakan pembatasan seperti UU ITE dan KUHP baru.
Halaman Selanjutnya
“Kita demokratis secara prosedural, tapi belum substantif. Tanpa perlawanan anak muda, demokrasi hanya akan tinggal nama,” tegas Imam.

2 hours ago
1









