Siap Turunkan Tarif untuk China, Analis Sebut Trump Mulai Panik

5 hours ago 3

Rabu, 23 April 2025 - 17:12 WIB

Jakarta, VIVA – Perang tarif antara Amerika Serikat dan China tampaknya akan memasuki babak baru. Baru-baru ini, saat menggelar konferensi pers di Oval Office, Trump mencoba meyakinkan pasar bahwa tarif atas barang-barang dari China tidak akan setinggi 145 persen dan akan 'turun secara substansial', meski tidak sampai nol.

Para analis menyebut, nada bicara Trump yang satu ini justru menunjukkan kepanikan yang semakin kentara. Terutama di tengah tekanan ekonomi AS yang kian memburuk.

“Kenyataannya, tidak ada kemajuan nyata dalam negosiasi tarif antara AS dan China. Tapi ini adalah cara Trump memberi sinyal ke China. Semakin sering ia bicara seperti ini, semakin terlihat betapa gelisahnya pihak AS,” kata Chen Zhiwu, profesor keuangan dari University of Hong Kong, seperti dikutip dari South China Morning Post, Rabu, 23 April 2025.

“Trump dan timnya sedang berada di bawah tekanan, tapi China tidak menunjukkan tanda-tanda terburu-buru,” tambahnya.

Data menunjukkan, bahwa perdagangan bilateral antara AS dan China mencapai USD688,3 miliar pada tahun 2024. Namun, hubungan itu kini di ambang kehancuran akibat aksi saling balas menaikkan tarif, di mana Washington telah menaikkan bea masuk hingga 145 persen, sementara Beijing membalas dengan tarif sebesar 125 persen. 

VIVA Militer: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump

Dampaknya pun sudah terasa, seperti pasar finansial terguncang, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, dan terjadi aksi jual besar-besaran atas surat utang AS dalam dua pekan terakhir. Alicia Garcia-Herrero, Kepala Ekonom Asia Pasifik di Natixis, menilai, Trump terlihat panik. 

"Dia (Trump) panik karena pasar anjlok, imbal hasil surat utang masih tinggi, dan investor mulai kehilangan kepercayaan pada dolar AS,” katanya. “Trump butuh kesepakatan cepat. Dalam situasi seperti ini, China tidak perlu memberikan konsesi besar karena AS sangat membutuhkan kesepakatan," tambahnya.

Di sisi lain, Menteri Keuangan AS Scott Bessent dilaporkan mengatakan dalam forum tertutup bahwa kondisi saat ini telah berubah menjadi semacam 'embargo dua arah' yang tidak berkelanjutan. “Tidak ada yang berpikir bahwa kondisi saat ini, tarif 145 dan 125 persen, bisa terus berlangsung. Jadi kemungkinan besar dalam waktu dekat akan ada de-eskalasi,” ungkapnya.

Xu Tianchen dari Economist Intelligence Unit menambahkan bahwa rencana tarif dari Gedung Putih masih sangat 'cair' dan perubahan nyata baru akan terjadi bila ekonomi AS menunjukkan tanda-tanda memburuk lebih lanjut. “Kenaikan biaya hidup, kekacauan ekonomi, dan ketidakpuasan publik pada akhirnya akan memaksa Trump untuk mengubah pendekatannya,” jelas Xu.

Sementara itu, Zha Daojiong dari Peking University menyarankan agar kedua pihak kembali ke mekanisme kelompok kerja dan melakukan negosiasi berbasis bukti. “Idealnya, satu pihak menurunkan tarif dan pihak lain merespons dengan penyesuaian sepadan,” katanya.

Halaman Selanjutnya

"Dia (Trump) panik karena pasar anjlok, imbal hasil surat utang masih tinggi, dan investor mulai kehilangan kepercayaan pada dolar AS,” katanya. “Trump butuh kesepakatan cepat. Dalam situasi seperti ini, China tidak perlu memberikan konsesi besar karena AS sangat membutuhkan kesepakatan," tambahnya.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |